Oleh: Moh. Syaifudin
(ASN BDK Surabaya)
“Selamat menempuh hidup baru. Semoga menjadi keluarga yang samara,” itu ungkapan yang sering kita ucapkan kepada kerabat, sahabat, atau kolega yang baru saja melangsungkan pernikahan. Samara adalah kepanjangan dari sakinah, mawaddah wa rahmah. Kita mendoakan semoga keluarga yang baru saja dibentuk melalui akad nikah adalah keluarga yang penuh dengan ketenangan, penuh dengan cinta, dan penuh dengan kasih sayang.
Sakinah mengandung arti ketenangan. Rumah tangga yang sakinah adalah rumah tangga yang tidak terlalu banyak gejolak. Meskipun ada riak gelombang, atau bahkan gelombang sekalipun, suami istri mampu mengatasinya dengan cara-cara yang menenangkan.
Cinta adalah perasaaan suka yang derajatnya paling tinggi. Cinta mendorong seseorang untuk merasa memiliki yang ia cintai. Rumah tangga yang penuh cinta adalah rumah tangga yang di dalamnya merasa memiliki satu sama lain. Pada tataran ekstrem, cinta bisa berubah menjadi posesif. Cinta harus dikelola dengan baik. Sebab, jika tidak, posesif akan lebih dominan. Dan, jika posesif dominan, ditambah dengan rasa percaya yang semakin menipis, maka gejala-gejala seperti cemburu buta dan semacamnya akan lebih menguras energi untuk mengelolanya.
Sedangkan kasih sayang mendorong seseorang untuk memberikan yang ia punya bagi yang ia kasihi. Bagi seorang pengasih, yang paling penting baginya adalah memberi. Memberi, memberi, dan memberi saja. Tentang apa yang akan diterima, ia tidak terlalu memikirkannya. Jika kasih sayang subur dalam rumah tangga, maka yang muncul adalah perasaan menerima satu sama lain. Keduanya tidak telalu banyak meminta karena tanpa ia meminta, ia sudah diberi dan menerima. Masing-masing saling memahami kebutuhannya. Masing-masing memberi bahkan sebelum diminta.
Pernikahan adalah sarana bagi dua insan manusia yang berbeda untuk mengekspresikan fitrahnya. Ada pemenuhan kebutuhan biologis di sana. Ada ekspresi kebutuhan untuk mencintai dan dicintai. Di sana juga ada ekspresi kebutuhan untuk mengasihi dan dikasihi. Di sana juga ada ekspresi kebutuhan untuk menyayangi dan disayangi. Semua pemenuhan ekspresi kebutuhan itu dibingkai dalam sebuah bingkai yang mulia, yaitu pernikahan. Inilah yang membedakan manusia dengan hewan.
Karena berbeda: berbeda gender, berbeda latar belakang keluarga, berbeda latar belakang pendidikan, berbeda suku dan budaya, dan perbedaan-perbedaan yang lain, maka diperlukan pemahaman yang cukup agar kedua pasangan memahami satu sama lain. Pernikahan adalah tentang menyatukan perbedaan. Pernikahan adalah tentang mencapai kesempurnaan. Saya dan pasangan saya, Anda dan pasangan Anda adalah pribadi-pribadi yang berbeda dan tidak sempurna. Untuk itulah kita dipersatukan dengan pasangan kita dalam sebuah pernikahan untuk menyempurnakan satu sama lain.
Menyatukan perbedaan untuk menuju kesempurnaan bukanlah perkara mudah. Tetapi bukan berarti tidak bisa asalkan kita tahu ilmunya. Beruntung sekali kita diciptakan sebagai manusia karena kita dibekali oleh Yang Mahakuasa dengan keingintahuan. Rasa ingin tahu mendorong kita untuk belajar, belajar, dan terus belajar. Pernikahanpun demikian, perlu dipelajari. Kita perlu belajar untuk memantaskan diri untuk menikahi atau dinikahi. Kita perlu belajar tentang bagaimana menjalani kehidupan rumah tangga. Kita perlu belajar pola hubungan suami istri. Kita perlu belajar tentang pola pengasuhan. Kita perlu belajar tentang tata kelola rumah tangga. Kita perlu belajar tentang bagaimana menjadi seorang suami dan ayah yang baik. Kita perlu belajar tentang bagaimana menjadi seorang istri dan ibu yang baik, dan lain-lain.
Dan, proses belajar ini terus berlangsung, tidak pernah berhenti sampai kita tidak bisa bernapas lagi. Intinya, untuk mencapai keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah diperlukan ilmu. Karena semua ada ilmunya. (em-es