Oleh: Moh. Syaifudin
(ASN BDK Surabaya)
Saya teringat pada sebuah pesan yang ditulis dalam status keponakan saya beberapa tahun yang lalu. Isinya kurang lebih begini. Untuk menjadi seorang arsitek, seseorang harus menempuh pendidikan di SD selama 6 tahun, 3 tahun di SLTP, 3 tahun di SLTA, dan 4 tahun di perguruan tinggi. Total dia menempuh pendidikan selama 16 tahun. Jika ingin menjadi seorang konsultan, maka seseorang harus menempuh pendidikan 16 tahun plus pendidikan profesi selama 2 tahun. Begitu juga dengan seorang notaris, dokter, dll. Di bagian akhir statusnyanya, ia tuliskan, “Untuk menjadi orang tua yang baik, diperlukan pendidikan selama itu plus pendidikan seumur hidup agar ia mampu memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak-anaknya.”
Mengherankan bagi saya dengan tulisan tersebut mengingat keponakan saya waktu itu masih berada di bangku kuliah di salah satu perguruan tinggi ternama di Surabaya. Mungkin terinspirasi oleh apa yang ditulisnya itu, setelah menikah beberapa bulan yang lalu ia memutuskan untuk mendampingi suaminya di Sleman, Yogyakarta. Ia memilih untuk menjadi ibu rumah tangga. Padahal sebelum menikah ia sudah mapan bekerja di sebuah BUMN besar yang berkantorpusat di Gresik.
Kembali pada tulisan keponakan saya tadi. Diperlukan pendidikan formal selama minimal 16 tahun dan pendidikan seumur hidup agar seseorang menjadi orang tua yang baik. Pertanyaannya adalah di mana kita bisa mendapatkan pendidikan seumur hidup itu? Mungkin inilah yang menjadi persoalan yang terlewatkan oleh institusi negara. Ibu rumah tangga, misalnya, selama ini tidak dianggap sebagai profesi sehingga tidak perlu ada pendidikan formal untuk itu. Tidak perlu ada sekolah calon ibu. Begitu juga untuk ayah. Sebagai nahkoda rumah tangga, peran ayah sangat penting untuk menentukan mau dibawa ke mana rumah tangganya. Tidak perlu ada sekolah untuk calon ayah. Padahal, peran ayah dan ibu sangat penting untuk menentukan kualitas generasi yang akan datang.
Beruntung saya menyekolahkan kedua anak saya di, katakanlah SD X dan SMP Y. Saat ini mereka duduk ke kelas VIII dan V. Sebenarnya saya ingin menuliskan secara lengkap nama sekolah kedua anak saya itu. Tapi karena takut dianggap promosi, nama dua sekolah tersebut saya samarkan. Padahal, menurut saya, promosi untuk sesuatu yang baik tidak ada salahnya. Toh, di luar sana keburukan juga tidak kalah gencarnya berpromosi.
Sekolah-sekolah ini, secara langsung maupun tidak langsung mendidik kami untuk menjadi orang tua yang baik. Menjadi orang tua yang bertanggungjawab terhadap masa depan anak-anaknya. Bukan hanya masa depan mereka di dunia, tetapi yang lebih penting daripada itu adalah masa depan akhirat mereka. Dan, bukan hanya masa depan mereka, tetapi juga masa depan bangsa, negara, dan agama mereka.
Secara langsung, dalam beberapa kali kesempatan yang sudah diprogramkan oleh sekolah, kami diundang dalam seminar-seminar pengasuhan (parenting) yang semua itu tidak memerlukan biaya tambahan. Seminar tentang bagaimana misalnya, menyatukan individu orang tua yang berbeda, berbeda gender, berbeda suku, berbeda latar belakang budaya, dll. sehingga akhirnya orang tua memiliki visi dan misi yang sama tentang rumah tangga mereka. Misalnya lagi, tentang bagaimana menumbuhkan rasa tanggung jawab kepada anak-anak. Bukan hanya tanggung jawab individu, yaitu bagaimana ia bisa mandiri dalam mengurus dirinya sendiri, sejak bangun, mempersiapkan peralatan sekolah, belajar, sampai mereka tidur lagi, tetapi juga bagaimana anak-anak ini bertanggungjawab terhadap agamanya. Bagaimana kelak agama Allah ini kembali menemui kejayaannya. Materi yang disampaikan dalam seminar-seminar pengasuhan yang diadakah oleh sekolah sungguh melebihi harapan kami.
Secara tidak langsung sekolah juga mengajari kami untuk menjadi individu dan orang tua yang lebih baik. Ibarat para pedagang mainan anak. Yang tampak di luar target pasar mereka adalah anak-anak. Tetapi sesungguhnya target pasar mereka adalah orang tua. Koq bisa begitu? Anak-anak mana punya uang sendiri. Yang punya uang kan orang tua? Begitu kira-kira alasan saya. Begitu juga dengan sekolah. Tampaknya yang disuruh untuk sholat jamaah di masjid, sholat malam, puasa sunnah, mengaji dan aktivitas ibadah yang lain adalah anak-anak. Tetapi sejatinya sekolah juga “menyuruh” kami sebagai orang tua untuk melakukan hal yang sama. Rupanya sekolah menyadari bahwa anak-anak tidak akan nurut begitu saja ketika hanya disuruh. Akan lebih nurut jika mereka diajak.
Apa bedanya menyuruh dan mengajak? Ayah bisa saja menyuruh anaknya untuk sholat berjamaah di masjid sementara ia asyik nonton siaran langsung pertandingan sepak bola, misalnya. Atau, ibu bisa saja menyuruh anaknya mengaji sementara ia asyik dengan media sosial di HP-nya. Namun ketika ayah mengajak, tentu ia akan mematikan televisi dan bersama-sama anaknya pergi ke masjid. Demikian juga dengan ibu. Ia relakan update status kawan-kawannya di media sosial demi menemani anak-anaknya mengaji. Tentu saja, mengajak lebih efektif daripada sekadar menyuruh.
Ketika anak-anak minta dibangunkan untuk sholat malam dan makan sahur, apakah lantas orang tua bangun hanya untuk sekadar membangunkan mereka? Tentu saja bukan itu target sekolah. Secara tidak langsung sekolah mendorong para orang tua untuk sholat malam dan puasa bersama-sama dengan anaknya. Sekali lagi, mengajak lebih efektif daripada sekadar menyuruh.
Begitulah rupanya sekolah menciptakan sebuah “sekolah” bagi orang tua. Mereka mendidik orang tua melalui anak-anak mereka. Sekolah seperti ini menyadari betul bahwa pendidikan bukanlah semata-mata tanggung jawab sekolah. Sebagaimana dalam istilah segitiga emas pendidikan, berhasil tidaknya pendidikan anak tidak hanya bergantung pada peran sekolah. Di samping sekolah dan peserta didik, si sana ada peran orang tua yang sangat strategis. Peran orang tua sangat penting dalam mendampingi proses belajar anak-anak, baik dari sisi akademik, maupun sisi keterampilan hidup (life skill). Bahkan, bukan hanya mendampingi, tetapi juga terkadang “ikut serta” dalam pembelajaran mereka.
Tapi sekolah seperti ini tidak banyak. Bahkan, institusi-institusi pendidikan di bawah pengelolaan negara tidak banyak yang menyadari hal ini. Mereka terjebak untuk mencetak anak-anak yang hanya unggul dalam bidang akademik. Menang dalam berbagai olimpiade sains tingkat kabupaten, provinsi, nasional, bahkan tingkat internasional. Tetapi kemudian tidak ada tindak lanjutnya dalam kehidupan nyata. Tak heran jika sebagian besar lulusannya tidak tahan banting saat mereka dewasa.
Untuk itu, negara harus hadir untuk menciptakan sekolah-sekolah untuk orang tua dan calon orang tua. Mengapa calon orang tua juga perlu dididik? Kita mungkin sudah sering mendengar dan menyaksikan di media televisi atau media soial banya para selebritas nasional maupun dunia gagal menjadi orang tua, bahkan sebagai calon orang tua sekalipun. Sudah punya anak, dua atau tiga, lantas bercerai. Baru saja menikah dan belum punya anak, bercerai. Lantas, akan dibawa ke mana generasi yang akan datang jika mereka dididik dalam rumah tangga yang pilot dan copilotnya gagal menjadi orang tua? Sekali lagi, negara harus hadir untuk menciptakan sekolah orang tua jika tidak ingin cita-cita Generasi Emas 2045 gagal total. Sekolah orang tua adalah sebuah kebutuhan mendesak. (em-es)