Oleh: Aziz Fuadi
Apapun bentuknya organisasi, apakah itu organisasi bisnis, publik, yayasan atau organisasi nirlaba seringkali melibatkan beberapa orang yang diberi tanggung jawab untuk menyelesaikan pekerjaan. Mereka terbagi atas bagian dan kelompok. Namun kelompok tidak selamanya berkinerja sesuai dengan yang diharapkan. Ketika kelompok dibentuk tidak dengan serta merta anggotanya akan berkinerja dengan baik. Banyak pula kelompok sudah terbentuk, namun yang terlibat hanya beberapa orang saja, sedangkan anggota lainnya hanya menjadi penonton. Banyak pula pemandangan di mana satu dua orang sangat mendominasi kelompok dan menganggap anggota lain tidak mampu menyelesaikan pekerjaan kelompok. Mengapa demikian? Berikut ini penulis uraikan faktor penyebab terbentuknya kelompok yang kurang ideal.
Pertama: Pelanggaran terhadap Norma Kelompok
Norma kelompok merupakan aturan yang berisi cara bersikap dan berperilaku anggota dalam kelompok. Maka sebuah norma sangat mewarnai kehidupan kelompok. Jika norma tersebut diwujudkan dalam bentuk aturan tertulis dan sangat teknis, maka anggota akan mudah memahaminya, namun jika tak tertulis maka pemahaman terhadap norma yang ada akan sangat tergantung dari kepekaan dan persepsi individu dalam menanggapi kondisi kelompok. Ketika persepsi anggota terhadap norma yang ada sangat berbeda dengan yang seharusnya, maka dalam perilakunya anggota dimungkinkan akan melanggar norma kelompok.
Pelanggaran norma tersebut juga bisa terjadi dengan sengaja. Artinya anggota secara sadar melanggar norma tersebut sehingga perilakunya bertentangan dengan anggota yang lain. Hal tersebut dilakukan karena adanya kepentingan tersembunyi yang tidak sejalan dengan norma kelompok. Karenanya, dengan mengikuti norma yang ada kemungkinan ia tak bisa mewujudkan tujuan individualnya. Hasilnya kelompok menjadi tidak kompak, loyalitas anggota relatif rendah dan konflik antar anggota bisa bermunculan.
Untuk mencegah timbulnya pelanggaran norma, maka sejak awal terbentuk, kelompok yang dikomando ketua kelompok perlu menyosialisasikan norma yang berlaku bagi kelompok. Sosialisasi tersebut harus sampai pada pemahaman yang sama dari tiap anggota terhadap norma, sehingga tak terjadi bias atau pemaknaan ganda dalam norma yang berlaku. Di samping itu, perlu adanya aturan tertulis tentang pelanggaran norma berikut sanksi, berikut hak dan kewajiban bagi pelanggarnya.
Kedua: Perbedaan Level Status
Perbedaan level status pada pegawai akan menjadi penghalang terwujudnya kelompok yang kompak. Level tersebut berupa perbedaan tingkat pendidikan, pengalaman kerja, keterampilan, pengetahuan dan posisi. Meskipun adanya perbedaan level status pada anggota akan membuat kelompok berkinerja tinggi jika dipimpin oleh sesorang yang mampu mengelola kelompok, namun perbedaan tersebut membentuk tetap saja memberikan jarak antar anggota. Di satu sisi mereka yang mempunyai status sosial tinggi akan meganggap bahwa pekerjaan akan dikerjakan dengan kualitas yang kurang baik jika dikerjakan oleh anggota dengan level status yang rendah, di sisi lain anggota dengan status sosial rendah merasa bahwa mereka tidak perlu terlibat lebih banyak karena sudah dikerjakan oleh anggota dengan status yang lebih tinggi.
Karena merasa memberikan andil yang lebih besar terhadap kinerja kelompok, maka anggota dengan status tinggi biasanya akan lebih dimaklumi jika melakukan pelanggaran norma atau aturan yang ada dibandingkan dengan anggota dengan status yang lebih rendah. Kontribusi yang lebih besar dalam kelompok akan dianggap sebagai penyeimbang bagi pelanggaran yang dilakukan. Karenanya bagi mereka yang berstatus tinggi dalam kelompok biasanya akan mendapatkan toleransi atas pelanggaran yang dilakukan dalam kelompok. Hal ini justeru membuat kondisi kelompok menjadi tidak sehat karena adanya perlakuan yang tidak sama pada anggota kelompok. Ketika kelompok terlalu mengandalkan orang-orang tertentu, anggota yang diandalkan akan semakin merasa lebih berperan, lebih merasa dibutuhkan dan merasa superior. Akibatnya mereka yang berstatus tinggi merasa berhak jika mendapatkan perlakuan istimewa dalam kelompok. Ketika hubungan antar anggota baik-baik saja atau tidak ada konflik pada level tinggi, dimungkinkan kinerja kelompok tetap baik. Kinerja kelompok turun ketika mereka yang berstatus tinggi terlibat konflik dengan anggota atau adanya anggapan dari mereka bahwa kelompok tidak lagi menjadi tempat yang nyaman baginya.
Jika kelompok sudah terbentuk dengan perbedaan level status yang relatif tinggi, maka sangat dibutuhkan sesorang yang mampu merekatkan perbedaan level tersebut sehingga antara anggota bisa merasa satu kelompok dengan tujuan yang sama. Anggota kelompok yang begitu beragam akan dapat dikelola jika pemimpin kelompok mampu menciptakan kohesivitas kelompok dengan mengintegrasikan sisi positif dari anggota.
Ketiga: Munculnya Kemalasan Sosial
Kemalasan sosial (social loafing) merupakan kecenderungan anggota kelompok untuk tidak berkontribusi terhadap kelompok. Padahal jika mereka mengerjakan pekerjaan secara individual tugas dan tanggung jawabnya diselesaikan. Kondisi tersebut terjadi karena adanya persepsi bahwa tugas kelompok sudah dikerjakan anggota lain tanpa kehadiran dirinya. Di sisi lain, hal itu terjadi karena adanya kinerja kelompok yang hanya didominasi oleh anggota tertentu atau kondisi kelompok yang tidak memungkinkan diakomodirnya kontribusi seluruh anggota. Semakin tinggi tingkat dominasi anggota tertentu, maka semakin tinggi tingkat social loafing dari anggota. Karenanya anggota yang melakukan social loafing seakan mendapatkan legitimasi bahwa yang dilakukannya adalah sebagai sebuah kebenaran.
Apalagi diperparah dengan adanya reward yang bersifat kelompok, artinya reward diberikan secara merata pada anggota kelomopk tanpa memandang tingkat kontribusi dari anggota. Maka social loafing akan semakin menggejala pada kelompok. Mereka akan menarik keterlibatan lebih dalam pada kelompok atau enggan menampilkan kinerjanya.
Kemalasan sosial tersebut akan berkurang jika terdapat aturan yang jelas yang membagi tugas dan fungsi dari masing-masing anggota. Anggota akan bekerja sesuai dengan tugas dan fungsinya selanjutnya baru diintegrasikan dengan tugas dan fungsi anggota lain. Untuk itu dibutuhkan, pemimpin kelompok yang bisa mengkoordinasikan dan menggerakkan anggota untuk bisa bekerja sesuai dengan standar yang ada. Jika hasil pekerjaan anggota merupakan bahan baku atau dasar untuk pekerjaan selanjutnya maka anggota lain, maka pengaturan waktu pekerjaan dengan target yang jelas akan sangat membantu kinerja kelompok atau mencegah berhentinya proses pada anggota tertentu.
Keempat: Konflik Hubungan antar Anggota
Dalam tingkatan yang relatif rendah, konflik hubungan bisa berdampak positif karena dengan konflik akan diperoleh ide-ide baru dalam rangka memecahkan masalah yang dihadapi. Namun dalam tingkatan yang tinggi, konflik bisa berdampak negatif karena akan memperburuk hubungan kerja antar anggota, timbul pertentangan bahkan pertikaian yang sangat merugikan kelompok. Pada titik inilah konflik hubungan tidak lagi produktif. Pihak yang berkonflik tidak lagi berpikir secara sehat karena mereka akan memandang dari sudut pandang masing-masing. Semua berpegang pada kebenaran masing-masing, sehingga akan memandang pihak lain salah. Ukuran kebenaran tidak lagi ukuran yang obyektif, namun ukuran yang dibuat oleh masing-masing pihak. Pihak lawan selalu dinilai negatif dan orang-orang yang terlihat mempunyai hubungan baik dengan pihak lawan juga akan diberikan penilaian negatif karena dianggap ada unsur keberpihakan.
Kelompok dengan anggota seperti itu bisa diprediksi tak akan produktif. Kinerja kelompok bisa saja terganggu. Apalagi jika pihak yang berkonflik adalah orang-orang yang diandalkan dalam kelompok. Maka produktivitas kelompok bisa sampai pada titik terendah. Para anggota merasa bhawa kelompok bukan lagi menjadi tempat yang nyaman untuk bekerja, berbagi pengetahuan, pengalaman dan media untuk berkreasi. Mereka akan merasa lebih nyaman ketika bekerja secara individu dan hanya menyelesaikan pekerjaan yang bersifat personal yang hanya menjadi tugasnya, sedangkan tugas-tugas koordinatif yang memerlukan kerja sama dengan anggota lain akan dihindari.
Karenanya, mengelola konflik agar tak sampai pada level tinggi akan lebih baik dibandingkan menyelesaikan konflik. Pada level rendah, anggota yang terlibat konflik masih memiliki pikiran-pikiran yang obyektif, masih bersifat logis dan dimungkinkan masih taat pada norma yang berlaku pada kelompok. Dalam menilai sebuah kebenaran, mereka belum terlalu egosentris sehingga masih bisa menerima pendapat orang lain. Di snilah diperlukan peran ketua kelompok. Idealnya, ketua kelompok mampu mengelola kelompok lebih kohesif, mempunyai rasa saling percaya dan terotivasi untuk mencapai tujuan kelompok.
Bagaimana jika konflik telah terjadi? Tentu saja ketua kelompok yang berperan dalam menyelesaikannya. Menggali latar belakang masalah, cara pandang pihak yang terlibat konflik, pemikiran dan harapan-harapan mereka, adalah hal pertama yang perlu dilakukan. Selanjutnya beberapa mediasi dibutuhkan untuk mencari titik kesepakatan, di mana tidak ada pihak yang dirugikan.
Kelima: Ketidakseimbangan dalam Pertukaran Sosial
Anggota dalam kelompok tak akan lepas dari proses pertukaran sosial, yaitu aktivitas pertukaran sumber daya antara anggota kelompok. Sumber daya tersebut bisa berujud hasil kerja dan bentuk-bentuk sikap dan perilaku misalnya, adanya penghargaan, saling percaya, saling memberi, saling pengertian dan sikap-sikap lainnya yang terjadi dalam proses hubungan sosial. Aktiivtas pertukaran sosial dalam kelompok akan berdampak positif jika di dalamnya terdapat keseimbangan, di mana anggota merasa bahwa pengorbanan yang ia berikan akan sejalan dengan penghargaan dari orang lain. Biasanya anggota akan berharap terjadi keseimbangan dalam pertukaran sosial yaitu sebuah kondisi di mana terdapat keseimbangan antara pengorbanan yang dilakukan dengan penghargaan yang diterima dari orang lain. Anggota juga berharap bahwa ketika mereka melakukan sikap yang positif maka akan mendapat tanggapan yang positif pula.
Ketidakseimbangan dalam pertukaran terjadi ketika sikap positif yang diberikan oleh sesorang tidak ditanggapi dengan sikap dan perilaku yang positif pula sehingga ia merasa bahwa pengorbanan yang dilakukan tak sebanding dengan reward yang diberikan orang lain. Jika proses pertukaran berada dalam kondisi yang tidak seimbang, maka terjadilah kelompok yang tidak kompak, timbul rasa ketidakpercayaan dan tingkat kinerja yang menurun.