Oleh: Aziz Fuadi
Pemberdayaan identik dengan kata pengoptimalan kinerja pegawai. Ketika mendengar kata pemberdayaan, maka bayangan kita akan tertuju pada usaha-usaha untuk mengubah pegawai yang pada awalnya tak berdaya menjadi berdaya, tak berkinerja menjadi berkinerja, atau adanya unsur peningkatan. Pegawai yang pada awalnya berkinerja rendah menjadi lebih berkinerja atau bahkan berkinerja tinggi. Maka dalam kata pemberdayaan terdapat unsur perubahan dan peningkatan.
Adanya unsur perubahan dan peningkatan, tampaknya tak cukup mewakili kata pemberdayaan. Jika pegawai telah berubah dan meningkat bukan berarti seorang pemimpin telah memberdayakan pegawai. Masih ada satu unsur lagi yang diperlukan yaitu keterlibatan semua pegawai. Ketika yang berubah dan meningkat hanya sebagian pegawai sedangkan pegawai lainnya hidup dengan dunianya sendiri, maka dalam organisasi tersebut belum bisa dikatakan sebagai organisasi yang memberdayakan pegawainya. Apalagi masih banyak pegawai yang tak memikirkan maju mundurnya organisasi apalagi andil di dalamnya, atau asyik dengan zona kenyamanan pribadi dan menjadi pribadi yang “untouchable” dalam dunia kepegawaian, maka hal tersebut juga tak bisa diberi label organisasi yang memberdayakan pegawainya. Pemimpinnya belum bisa diberikan anugerah sebagai pemimpin yang memberdayakan pegawai. Apalagi pegawai dengan stigma “untouchable” dengan leluasa menikmati kompensasi lebih yang sebenarnya tak berimbang dengan kinerja yang dihasilkan.
Fenomena yang sering terjadi dalam penerapan pemberdayaan pegawai adalah adanya tebang pilih pegawai. Pemimpin cenderung memberdayakan pegawai yang diprediksi bisa diberdayakan. Mereka yang dinilai rajin, punya motivasi dan kompetensi tinggi seringkali mendapat program pemberdayaan. Sedangkan pegawai yang dinilai tidak rajin, punya motivasi kerja dan kompetensi yang rendah justeru luput dari program pemberdayaan. Maka program pemberdayaan pegawai pada akhirnya justeru berujung pada bertambahnya beban kerja pada pegawai tertentu. Karenanya, yang terjadi adalah peningkatan kinerja pada pegawai yang memang sudah berkinerja baik, bukan meningkatkan keterlibatan pegawai yang berkinerja kurang baik.
Adanya pemimpin yang memberdayakan pegawai dengan kinerja baik didasarkan pada asumsi bahwa jika pekerjaan diberikan pada mereka yang dinilai “kurang bisa dipercaya” maka pekerjaan tidak akan beres. Pemimpin lebih mencari titik aman dengan menyerahkan pekerjaan pada pegawai yang memang sudah kompeten dan bisa dipercaya. Padahal sikap seperti itu akan semakin mendorong pegawai yang dinilai kurang bisa dipercaya untuk menghindari tanggung jawab. Semakin sering mereka tidak dilibatkan pada pekerjaan, semakin terbentuk zona kenyamanan bagi mereka untuk tidak berkinerja. Meskipun pada sebagian pegawai, tidak dilibatkan dalam pekerjaan berarti hilangnya pengakuan atasan terhadap kompetensi pegawai, namun bagi mereka yang telah terbiasa dengan zona kenyamanan untuk tidak berkinerja, berkurangnya keterlibatan pada pekerjaan akan dipandang sebagai anugerah. Apalagi lingkungan kerja sangat mendukung sikap untuk menghindari pekerjaan.
Oleh karena itu, unsur keterlibatan pegawai menjadi sangat penting dalam program pemberdayaan. Tanpa adanya keterlibatan semua pegawai, belumlah cukup untuk dikatakan sebagai pemberdayaan.
Keberhasilan Pemberdayaan
Keberhasilan pemberdayaan pegawai tak lepas dari adanya kepercayaan pemimpin terhadap kemampuan pegawai. Pegawai yang merasa diberi kepercayaan biasanya akan berusaha mememgang kepercayaan tersebut dengan berkinerja lebih baik. Meskipun pada kasus khusus ada juga pegawai yang kurang berkinerja ketika diberi kepercayaan, namun peristiwa tersebut relatif jarang terjadi. Adanya kepercayaan berarati timbulnya pengakuan atas keberadaan pegawai. Pegawai akan merasa menjadi bagian dari organisasi sehingga mereka merasa ikut bertanggung jawab terhadap kemajuan organisasi.
Di samping itu, pemberdayaan akan lebih berhasil jika pegawai diberikan otoritas yang lebih dalam pekerjaannya. Tingginya otoritas akan semakin meningkatkan kreativitas pegawai. Mereka akan membuat cara-cara baru dalam menyelesaikan pekerjaan yang pada akhirnya akan berdampak pada semakin pendeknya waktu penyelesaian pekerjaan atau meningkatnya kualitas pekerjaan. Beberapa keputusan dalam organisasi perlu melibatkan pegawai jika hal tersebut menyangkut komitmen bersama untuk memajukan organisasi. Ketika pegawai dilibatkan dalam pembuatan komitmen bersama, mereka cenderung akan melaksanakan komitmen tersebut karena merasa ikut andil di dalamnya.
Keberhasilan pemberdayaan pegawai juga tergantung dari lingkungan yang ada. Lngkungan tersebut perlu mendukung proses pemberdayaan dengan menerapkan nilai-nilai humanisme yang menghargai adanya peran individu pada organisasi. Diakuinya peran individu dan dihilangkannya superioritas sesama anggota organisasi akan semakin memberikan rasa nyaman bagi anggota yang ada di dalamnya.
Tidak semua program pemberdayaan akan selalu menuai keberhasilan. Masalah akan senantiasa muncul sehingga sangat penting bagi pemimpin untuk bersedia mengatasi masalah dalam proses pemberdayaan pegawai. Ketika pegawai mengalami kendala, maka pemimpin perlu hadir di dalamnya. Kehadiran sosok pemimpin membeirkan kesan totalitas peran sebagai pemimpin dalam mengatasi masalah yang ada. Usaha peningkatan skill dan kompetensi melalui bimbingan, konsultasi atau pelatihan sangat diperlukan untuk semakin mewujudkan keberhasilan pemberdayaan.