Oleh: Aziz Fuadi
Pernahkah Anda mendengar kalimat dari rekan kerja Anda yang kebetulan mempunyai kompetensi di bagian tertentu “Jika bukan aku, gedung itu tak akan terbangun” atau “kalau tidak saya tangani, proyek tersebut tak akan berhasil”. Bagaimana reaksi Anda? Beragam reaksi akan bermunculan jika mendengar ucapan tersebut terlontar dari rekan kerja Anda. Mungkin ada yang bisa memaklumi, mengacungi jempol, bersikap sinis atau menganggapnya berlalu begitu saja. Perilaku rekan kerja Anda memberikan isyarat bahwa ia punya kuasa dan penting dalam organisasi.
Perilaku tersebut bisa dijelaskan dengan teori perilaku dari Robbins dan Judge (2005) yang membahas tentang kekuasaan. Menurutnya kekuasaan adalah kapasitas yang dimiliki seseorang untuk memaksa atau membuat individu atau kelompok tergantung padanya. Jika organisasi tempat Anda bekerja tergantung dengan rekan Anda, maka sebenarnya rekan Anda adalah orang yang mempunyai kekuasaan meskipun secara struktural ia tidak menjabat sebagai pemimpin dalam posisi tertentu. Ia dipandang sebagai orang yang mempunyai kekuasaan karena membuat orang lain atau kelompok tergantung padanya. Kekuasaan tersebut muncul karena adanya karakteristik yang dimiliki seseorang. Dalam hal ini, rekan kerja Anda mempunyai kekuasaan karena keahlian yang dimilikinya.
Robbins dan Judge (2005) membagi kekuasaan menjadi dua yaitu kekuasaan formal dan kekuasaan pribadi. Kekuasan formal adalah kekuasaan yang muncul dari individu yang ada dalam organisasi karena adanya kemampuan memaksa, memberikan imbalan dan adanya legitimasi atas jabatan yang dimilikinya. Kemampuan memaksa dapat terjadi ketika kedudukan individu dalam organisasi mampu mengendalikan orang lain. Kemampuan memaksa juga bisa muncul ketika individu mempunyai informasi penting dan pengetahuan yang dibutuhkan orang lain sehingga individu atau kelompok akan tergantung dan tunduk padanya. Kekuasaan atas imbalan terwujud karena individu mempunyai kemampuan untuk memberikan imbalan yang bersifat finansial maupun nonfinansial, seperti menetapkan gaji, bonus dan kompensasi lain. Sedangkan kekuasaan karena legitimasi (legitime power) muncul karena wewenang formal yang dimiliki individu dalam organisasi sehingga ia berkuasa untuk mengendalikan sumber daya yang ada dalam organiasasi.
Dalam membahas kekuasaan pribadi, Robbins dan Judge (2005) menjelaskan bahwa kapasitas yang dimiliki individu akan menimbulkan kekuasaan yang dimilikinya. Mereka membagi kekuasaan tersebut menjadi dua yaitu kekuasaan yang disebabkan oleh keahlian (expert power) dan karena individu bisa dijadikan acuan (referent power). Kekuasaan keahlian akan ada pada invidu jika ia mempunyai keahlian yang spesifik, seperti tabib, dokter, akuntan, ulama, insinyur atau profesi lain yang sangat khusus. Sedangkan kekuasaan acuan akan ada ketika individu mempunyai sumber daya yang bersifat pribadi yang diinginkan oleh orang lain sehingga akan timbul rasa hormat, kagum, simpati atau suka dari orang lain. Kekuasaan acuan akan berkembang ketika individu tersebut telah dijadikan acuan bagi individu lain atau sekelompok orang sehingga ia ditokohkan atau diperhitungkan keberadaannya.
Sindrom Sobmyp pada Expert Power
Dengan expert power, seseorang akan dihargai orang lain dengan keahlian yang dimilikinya. Namun kadang-kadang expert power membuat seseorang memandang dirinya lebih tinggi dibanding orang lain sehingga timbul perilaku egosentris. Apalagi jika organisasi ternyata sangat tergantung dengannya. Maka kalimat yang mengisyaratkan betapa besar kekuasaannya akan terlontar darinya. Kalimat “jika bukan karena saya……” atau kalimat yang mengisyaratkan bahwa dialah penyebab dari keberhasilan, kemajuan, peningkatan atau hal-hal positif lain yang terjadi di organisasi. Anda pun jangan kaget jika ternyata rekan kerja Anda tersebut sangat suka dengan pujian. Sikap dan perilaku yang menunjukkan bahwa ia butuh sebuah penghargaan seringkali akan anda temui ketika berinteraksi dengannya. Maka bisa dikatakan ia terkena sebuah sindrom karena sikap dan perilaku tersebut bersifat menetap dan dilakukan berulang-ulang. Lebih tepatnya ia terkena sindrom “Sobmyp” (so big my power) karena menganggap bahwa kekuasaan yang dimilikinya begitu besar. Bahkan lebih besar dari kenyataannya.
Hadirnya orang yang mempunyai keahlian memang sangat dibutuhkan dalam organisasi, namun jika si pemilik keahlian tersebut menggunakan expert powernya untuk kepentingan pribadi, maka hal tersebut cenderung akan menimbulkan konflik karena akan berbenturan dengan kepentingan individu lain bahkan organisasi. Semakin banyak orang yang terkena sindrom tersebut, semakin banyak individu maupun kelompok yang memperebutkan sumber daya yang ada. Padahal sumber daya tersebut jumlahnya terbatas sehingga sangat dimungkinkan timbul benturan kepentingan antara orang dan kelompok yang terlibat di dalamnya.
Sindrom Sobmyp pada Pemimpin
Sindrom Sobmyp juga bisa hinggap pada mereka yang mempunyai kekuasaan karena adanya legitimasi, misalnya menduduki sebuah jabatan pada eselon tertentu atau manajer dalam sebuah organisasi. Statusnya sebagai pemimpin memberi keleluasaan baginya untuk bertindak sesuai dengan persepsinya terhadap jabatan yang dimiliki. Bagi mereka yang menyadari adanya batas kewenangan dari jabatannya, besar kemungkinan mereka bisa terhindar dari sindrom tersebut. Namun mereka yang kurang menyadarinya, sindrom sobmyp akan mudah melekat, terinternalisasi pada diri seseorang sehingga menjelma menjadi bentuk sikap dan perilaku setiap hari. Sikap dan perilaku yang melebihi batas kewenangannya akan seringkali Anda temui, bahkan seolah-olah organisasi adalah miliknya sendiri di mana ia bisa mengatur dan menentukan semuanya. Perilaku tersebut akan semakin parah ketika pemimpin yang berada pada tingkatan yang lebih tinggi bukanlah tipe pemimpin yang kuat dan mempunyai ketegasan dalam menentukan kebijakan sehingga akan memberikan celah baginya untuk semakin menggunakan kekuasaan yang dimiliki.
Pelanggaran terhadap zona kekuasaan akan semakin tampak. Kebijakan yang seharusnya menjadi kewenangan pada pemimpin pada level di atasnya akan diambilnya dengan berdalih bahwa hal tersebut untuk kepentingan organisasi. Padahal jika diteliti lebih jauh kebijakannya sarat dengan muatan kepentingan pribadi atau kelompok. Anehnya, pelaku sobmyp biasanya akan menganggap bahwa perilakunya adalah sangat wajar meskipun dalam pandangan orang lain, perilakunya sudah keluar dari batas kewenangannya sebagai pemimpin.