Oleh : Drs. H. Abdul Haris, M.M.
(Widyaiswara BDK Surabaya)
Bulan Mei 2022, BDK Surabaya menyelenggarakan Pelatihan Manajemen Waqaf, yang diikuti 30 peserta (para Nadzir se Jawa Timur). Terdapat materi tentang manajemen Waqaf produktif, manajemen Waqaf uang, pendayagunaan Waqaf, pengembangan jejaring kerja dan mitra usaha Nadzir. Materi tersebut mengarah pada produktivitas Waqaf. Dan menuntut agar Nadzir memberdayakan Waqaf melalui kompetensi entrepreneurship.
Dalam Undang-Undang No.41 tahun 2004 tentang Wakaf, pasal 43 ayat 2 menyebutkan bahwa Pengelolaan dan Pengembanagan harta benda waqaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara produktif. Hal ini berarti, secara konstitusional telah mengamanatkan kepada Badan Waqaf untuk mengelola aset/harta benda Waqaf secara produktif.
Semangat pemberdayaan Waqaf mampu membentuk desain manajemen Waqaf menjadi pola produktif. Aset Wakaf mampu menghasilkan sesuatu yang bernilai ekonomi. Manfaatnya dapat dialirkan tanpa mengurangi aset yang ada. Aset Wakaf tidak mengalami penyusutan nilai, sehingga masih dapat diperbarui kembali dari surplus Wakaf yang dihasilkan.
Transformasi pengelolaan ke produktif ini, membentuk Nadzir menjadi lebih professional. Ilmu dan pengetahuan Nadzir berkembang dari pola natural menjadi pola bisnis. Sehingga Nadzir memiliki kompetensi entrepreneurship, piawai dalam menjalankan bisnis. Nadzir mempunyai pengalaman bisnis dan mempunyai jejaring dalam bisnis serta mempunyai kemampuan melihat peluang pasar/bisnis.
Dampak dari itu semua, maka keberlangsungan manfaat Waqaf terus tumbuh berkembang dinikmati oleh mauquf alaihi (penerima manfaat Waqaf). Masa/waktu manfaat Waqaf juga semakin lama/panjang dan spketrum manfaat Waqaf juga semakin melebar. Bahkan sanggup menjangkau pada semua sektor kehidupan, misalnya pendidikan, kesehatan, pertanian dan lain sebagainya.
“Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra, dia berkata, “suatu ketika Umar bin Khattab memperoleh tanah di Khaibar, maka ia menemui Rasulullah SAW untuk meminta saran mengenai tanah itu. Ia mengatakan, “Wahai Rasulullah SAW, aku mendapatkan tanah di Khaibar, dan aku belum pernah mendapatkan harta yang lebih berharga daripada itu. Apakah saran untukku?”. Beliau SAW menjawab, “Jika engkau mau, sebaiknya engkau Waqafkan pokok tanah itu, kemudian engkau sedekahkan hasilnya”. Maka Umar bin Khattab pun mewaqafkannya dan tanah tersebut tidak bisa dijual, dibeli, diwariskan ataupun diberikan kepada orang lain. Dia menyedahkan hasilnya kepada mereka yang fakir, sanak kerabat, para budak, mujahid dijalan Allah, ibnu sabil (yang tidak memiliki cukup bekal) dan para tamu. Orang yang mengurusinya dibolehkan untuk memakan sebagian hasilnya dengan sawajarnya, atau boleh juga memberikannya kepada sahabatnya dengan tanpa menyimpannya.” (HR. Bukhari 2337, Muslim 1633, An-Nawawi 11/255)( Abdul Qawi Al-Mundziri 2015, 491-492)
Hadits tersebut menyatakan bahwa sahabat Umar bin Khatthab r.a. mewaqafkan harta tanah di Khaibar. Kemudian Rasulullah saw memberi petunjuk “Jika engkau mau, sebaiknya engkau Waqafkan pokok tanah itu, kemudian engkau sedekahkan hasilnya”. Maka Umar bin Khattab pun mewaqafkannya dan menyedakahkan hasilnya kepada mauquf alaihi. Badan Waqaf dibolehkan untuk memanfaatkan sebagian hasilnya dengan sawajarnya.
Semangat pemberdayaan Waqaf adalah tahan pokoknya, dan sedekahkan hasilnya (Republika, 27 Mei 2022), Artinya, menahan pokok harta Waqaf untuk dikelola secara produktif kemudian menghasilkan return, dan selanjutnya return disedekahkan. Dana pokok dikelola pada instrumen investasi, baik dibidang Pertanian, Perikanan, Perindustrian, Perdagangan, Jasa, maupun Pasar Keuangan dan Pasar Modal. Donasi Waqaf diproduktifkan (oleh Nadzir) kemudian hasilnya (return) disedekahkan untuk mauquf alaihi.
Umar bin Khattab r.a. menginspirasi Abu Bakar As-Shiddiq r.a. yang juga mewakafkan sebidang tanahnya di Mekkah dan diperuntukkan kepada anak keturunannya yang datang ke Mekkah. Kemudian Utsman bin Affan r.a. menyedekahkan hartanya di Khaibar, lalu Ali bin Abi Thalib r.a. mewakafkan tanahnya yang subur, lalu Abu Thalhah r.a. mewakafkan kebun Bairuha kesayangannya. Lalu diikuti para shahabat lainnya Mu’adz bin Jabal r.a. mewakafkan rumahnya yang populer dengan sebutan “Darul-Anshar”, kemudian disusul Anas bin Malik r.a., Abdullah bin Umar r.a., Zubair bin Awwam r.a., dan Aisyah r.a., dan seterusnya.Kompetensi entreprenuership Nadzir
Menuju Nadzir yang mempunyai kompetensi dan jiwa entreprenuer, haruslah didukung dengan pola paradigma yang mengarah kesitu, yaitu paradigma dari pengelolaan yang bersifat konsumtif menuju pengelolaan yang bersifat produktif. Dari tradisional menuju profesional, dari Nadzir perseorangan menuju Nadzir kelembagaan agar mudah pertanggung jawabannya.
Bukan hanya sekedar sanggup memberdayakan aset Waqaf menjadi produktif, namun ketrampilan mencatat, membukukan keuangan dalam sistem akuntansi yang terstandar pada pernyataan standar akuntansi keuangan (PSAK) nommor 109 tentang Akuntansi Zakat dan Infaq/Sedekah, sekaligus kecakapan dalam membuat laporan pertanggungjawaban secara keuangan, juga urgen untuk diperhatikan.
Oleh karena itu, penulis memberanikan diri untuk mem-propos agar dalam pelatihan Manajemen Waqaf, kompetensi entreprenuership Nadzir mendapat porsi dan alokasi yang optimal, sehingga menjadi profesional dan merubah aset Waqaf menjadi produktif.
Melalui kompetensi entreprenuership Nadzir, Insya Allah, akan didapat sejumlah ilmu pengetahuan tentang Manajemen Bisnis, Investasi, Pasar Keuangan, Pasar Modal, Akuntansi Bisnis, dan lain sebagainya. Sehingga manajemen Nadzir akan taat, patuh pada ketentuan kerjanya (SOP) dan transparansi serta akuntabilitas pengalokasian dana lebih terjamin, juga honorarium Nadzir menjadi standar, termasuk tenaga yang menjalankan administrasi.
Selain itu, kompetensi entreprenuership Nadzir, dapat mempersiapkan memasuki uji kompetensi profesi Nadzir profesional. Sehingga para Nadzir memiliki sertifikat profesi.
Profil Nadzir Entreprenuership.
Siapapun boleh menjabat Nadzir selama sanggup mengerjakan amanah itu. Kewajiban Nadzir adalah menjaga aset Waqaf, lalu memanfaatkannya, kemudian mendidtribusikan hasilnya kepada mauquf alaihi, maka Nadzir harus dijabat oleh orang yang mampu menyelenggarakan kewajiban tersebut. Nabi Muhammad SAW bersabda “Jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi.” Ada seorang sahabat bertanya; ‘bagaimana maksud amanat disia-siakan? ‘ Nabi menjawab; “Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu.” (HR Bukhari).
Pofil Nadzir entrepreneurship memiliki kompetensi moral, kompetensi manajemen dan kompetensi bisnis. Indikasi kepemilikan kompetensi moral meliputi paham tentang hukum wakaf dan ZIS, baik dalam tinjauan syari’ah maupun perundang-undangan negara RI.
Jujur, amanah dan adil sehingga dapat dipercaya dalam proses pengelolaan dan pentasharrufan kepada sasaran Wakaf. Indikasi kepemilikan kompetensi manajemen meliputi mempunyai kapasitas dan kapabilitas yang baik dalam leadership, visioner, memiliki program kerja yang jelas. Indikasi kepemilikan kompetensi bisnis meliputi punya ketajaman melihat peluang usaha sebagaimana layaknya entrepreneur.Manajemen Waqaf Produktif.
Dalam penjelasan Undang-Undang No.41 tahun 2004 tentang Wakaf pasal 43 ayat 2 dinyatakan bahwa Pengelolaan dan Pengembangan harta benda Waqaf dilakukan secara produktif antara lain dengan cara pengumpulan, investasi, penanaman modal, produksi, kemitraan, perdagangan, agrobisnis, pertambangan, perindustrian, pengembangan teknologi, pembangunan gedung, apartemen, rumah susun, pasar swalayan, pertokoan, perkantoran, sarana pendidikan ataupun sarana kesehatan, dan usaha-usaha yang tidak bertentangan dengan syariah (Penjelasan atas Undang-undang-No.41 tahun 2004). Hal ini berarti bahwa bidang garap Waqaf produktif begitu luas wilayahnya dan banyak sekali jenisnya. Oleh sebab itu diperlukan pengelolaan aset Waqaf yang serius dan sungguh-sungguh serta ilmu pengetahuan pendukung.
Pemberdayaan Waqaf yang produktif memerlukan dukungan ilmu manajemen. Eksistensi ilmu manajamen sanggup mendukung Badan Waqaf memproses keberlangsungan produktifitas Waqaf. Bahkan kesuksesan pencapaian tujuan Waqaf lebih efisien. Sebab, Ilmu Manajemen dapat diartikan Ilmu yang memperlajari cara mencapai suatu tujuan dengan efektif dan efisien, dengan bantuan orang lain (Husein Umar 2003, 17).
Ilmu Manajemen, bisa berperan dalam situasi dan kondisi yang fleksibel. Melalui manajemen yang baik, pengelolaan Waqaf dapat berjalan dengan lancar, sukses, terus berkembang. Segala kepentingan Waqaf bisa dibantu oleh manajemen. Sebaliknya, manajemen yang tidak baik, dapat mengakibatkan kegagalan produktifitas Waqaf.
Skema Waqaf produktif.
Waqaf produktif merupakan sebuah skema pengelolaan donasi Waqaf dari umat, yaitu dengan memproduktifkan donasi tersebut, hingga mampu menghasilkan yang berkelanjutan (Veitzal Rivai Zainal, Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf Produktif, Vol 9 No. 1 2016). Skema yang dikonstruk disesuaikan dengan bidang operasional bisnis yang diproduksi. Sehingga masing-masing skema memiliki alur (flow chart) karakteristik yang identik dengan nafas bisnis itu sendiri.
Skema dasar Waqaf produktif adalah sebagai berikut (Khusaeri, Wakaf Produktif, Vol. XII, No. 1, 2015).
Waqif sebagai pihak yang mewaqafkan harta benda miliknya, akan di terima oleh Nadzir, sebagai pihak yang menerima harta benda Waqaf dari Waqif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya. Pengelolaan secara produktif melalui berbagai instrumen investasi, sehingga mendapatkan syamrah/hasil (return), yang kemudian retrun ini dimanfaatkan oleh mauquf alaihi.
Selanjutnya skema tersebut, dapat dimodifikasi dan disesain sesuai dengan karakteristik bisnis yang dioperasionalkan. Dan Insya Allah para Nadzir kompeten dalam membangun skema bisnis
Penutup
Aset Wakaf mampu menghasilkan sesuatu yang bernilai ekonomi. Hakikat Waqaf adalah produktif. Sehingga membentuk pola pemberdayaan Waqaf menjadi produktif. Transformasi pengelolaan ke produktif ini, membentuk Nadzir menjadi lebih professional.
Potensi Waqaf di Indonesia begitu besar, namun optimalisasi aset Waqaf masih jauh dari ideal. Oleh sebab itu, keudukan Nadzir harus dipegang oleh orang yang sanggup menyelenggarakan Waqaf secara produktif.
Siapapun boleh menjabat Nadzir selama sanggup mengerjakan amanah itu. Kewajiban Nadzir adalah menjaga aset Waqaf, lalu memanfaatkannya, kemudian mendistribusikan hasilnya kepada mauquf alaihi, maka Nadzir harus dijabat oleh orang yang mampu menyelenggarakan kewajiban tersebut.
Penulis mem-propos agar Nadzir memiliki kompetensi entreprenuership sehingga mereka profesional merubah aset Waqaf menjadi produktif. Kompetensi entreprenuership Nadzir ini, juga mempersiapkan untuk memasuki uji kompetensi profesi Nadzir profesional. Sehingga para Nadzir memiliki sertifikat profesi. Semoga
Daftar Pustaka
——–, Penjelasan atas Undang-undang-No.41 tahun 2004 tentang-Wakaf.
Khusaeri, Wakaf Produktif, Jurnal Al-A’raf Pemikiran Islam dan Filsafat, Jurusan Tafsir Hadis dan Akidah Filsafat IAIN Surakarta Vol. XII, No. 1, 2015.
Qawi Abdul Al-Mundziri, Ringkasan Shahih Muslim, 2015. Solo : Penerbit Insan Kamil Cetakan ke 3
Rivai Veitzal Zainal, Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf Produktif, Jurnal Al-Awqaf Jurnal Waqaf dan Ekonomi Islam BWI Vol 9 No. 1 2016.
Syafi’ie Muhammad al-Bantanie, Sintesis Waqaf dan Bisnis, Republika, Jumat 27 Mei 2022
Umar Husein, Busines an Introduction, 2003 Jakarta : PT. Gramedia Pusaka Utama, cetakan ke 2