Oleh: Aziz Fuadi
Istilah clean government telah kita dengar beberapa tahun lalu dan mencuat saat awal reformasi. Saat itu, orang mulai berani berbicara masalah clean government setelah terkungkung selama 31 tahun semasa era orde baru. Begitu banyak orang mulai latah membicarakan masalah reformasi yang dalam benak mereka sangat beragam maknanya. Mereka memaknainya sesuai dengan tingkat pengetahuan mereka tentang reformasi. Ada yang mengartikan bahwa reformasi adalah sebuah kebebasan, perubahan yang berbeda dari sebelumnya, diakuinya hak asasi manusia dan pemaknaan-pemaknaan lain yang terkadang membuat kita geli mendengarnya. Namun ada pula yang dengan bijak menyuarakan bahwa reformasi adalah sebuah bentuk tatanan kehidupan yang lebih baik yang bertengger pada nilai-nilai universal terutama dalam penyelenggaraan berbangsa dan bernegara.
Desakan kepada pemerintah untuk mencapai clean government begitu sering. Bersih dari KKN (korupsi, klusi dan nepotisme) itulah target yang ingin dicapai. Istilah KKN pun meluas sampai ke pelosok tanah air hingga anak kecil di desa pun begitu fasih menyuarakan KKN yang tak pernah mereka dengar sebelumnya.
Saat ini, setelah berlangsung selama 19 tahun era reformasi atau 17 tahun setelah diundangkannya Undang-undang RI Nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN, pencapaian clean government ternyata masih jauh dari harapan. Semakin banyak kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat pemerintah dan petinggi politik yang seharusnya menjadi panutan kita dalam menghargai negeri ini. Mulai dari kasus impor daging sapi, proyek hambalang, alat kesehatan, simulator ujian SIM, BLBI dan kasus-kasus korupsi lainnya. Hal tersebut membuktikan bahwa niat kita untuk menuju clean government ternyata tidak mulus. Sederet kasus korupsi seakan bagai mode pakaian yang hilang dan muncul kembali atau selaras dengan peribahasa “patah tumbuh, hilang berganti”; hingga timbul tanda tanya besar “kapan kondisi ini akan berakhir?”
Adanya Kepentingan
Tidak habisnya masalah korupsi di negeri ini tak lepas dari adanya kepentingan dari si pelaku. Beberapa kasus korupsi yang telah terungkap selalu terkait dengan adanya kepentingan baik kepentingan indivdu maupun kelompok. Desakan kepentingan tampaknya lebih kuat dari dorongan niat baik untuk ikut membangun negeri. Kepentingan individu untuk memperoleh keuntungan dari mengucurnya anggaran pemerintah sering melatarbelakangi perilaku tidak jujur aparatur.
Celakanya, kepentingan tersebut seakan tak ada habisnya meskipun peraturan menjadi semakin ketat di mana celah untuk mendapatkan sesuatu dari sebuah anggaran yang diwujudkan dalam bentuk kegiatan semakin sempit. Otak pun mulai diputar, cara lama mulai ditinggalkan dan beralih ke cara-cara baru agar kepentingan tetap terwujud. Tak ada lagi yang namanya dokumen dan kegiatan yag fiktif. Tak ada lagi bukti-bukti yang palsu, dan tak ada lagi lelang yang penuh rekayasa. Semua berjalan normal. Namun selalu ada celah bagi yang punya kepentingan. Mungkin ketika sebuah kepentingan sudah tidak ada lagi atau yang punya kepentingan sudah ditelan bumi, negeri ini akan terbebas dari korupsi. Tapi kapan itu terjadi? Kepentingan selalu ada. Saat kepentingan aparat lama sudah berakhir karena pensiun atau terlebih dahulu sudah dipensiunkan oleh Yang Maha Kuasa, muncul pelaku baru dengan kepentingan yang baru pula. Begitu seterusnya. Lalu kapan clean government akan terwujud? Jawabnya hanya bisa dikatakan ketika sudah tak ada kepentingan yang bersifat individu dan kelompok dan dorongan niat baik untuk membangun negeri lebih kuat dibanding desakan untuk mewujudkan kepentingan sendiri.
Perbedaan Persepsi Kejujuran
Terwujudnya clean government tak lepas dari kata kejujuran. Kejujuran menjadi bahan baku bagi aparatur untuk bersikap dan berperilaku yang selaras dengan konsep clean. Meski kejujuran adalah sebuah nilai-nilai yang bermakna tunggal, namun dalam praktiknya bisa bermakna ganda. Kejujuran akan tergantung dari orang yang mempersepsikannya dan dikaitkan dengan konteksnya. Bagi mereka yang setuju dengan makna tunggal, kejujuran akan berarti sebuah sikap apa adanya, tanpa rekayasa, yang dilihat, dirasakan dan dipikirkan akan sesuai dengan yang diucapkan dan dilakukan. Maka kejujuran tidak akan mengenal konteks. Dikaitkan dalam konteks apapun maka kejujuran tetap saja berarti apa adanya dan tanpa rekayasa. Kejujuran dan ketidakjujuran bisa digambarkan sebagai putih dan hitam. Ketika berperilaku jujur berarti putih dan ketidakjujuran berarti hitam. Tidak ada wilayah abu-abu untuk sebuah kejujuran.
Bagi mereka yang sepakat dengan kejujuran yang bermakna ganda, maka kejujuran akan sangat relatif dan melekat pada sebuah konteks. Perilaku aparatur bisa dikatakan jujur karena telah memenuhi unsur yuridis formal sebagai penyelenggara pemerintahan. Kegiatan yang diamanahkan bisa dibuktikan dengan dokumen, nilainya benar dan sesuai dengan anggaran yang ada. Maka kejujuran dalam konteks seperti itu tidaklah berbasis proses, namun lebih menekankan hasilnya. Semua dapat dipertanggungjawabkan meski prosesnya melalui rangakaian perilaku yang bisa dikatakan tidak jujur dalam makna tunggal. Maka unsur untuk mencapai kepemerintahan yang baik sudah terpenuhi. Tapi betulkan sudah masuk dalam kriteria “clean”?
Istilah clean yang tak mengenal konteks dan bermakna tunggal tentu akan menyodorkan persyaratan bahwa proses penyelenggaraan pemerintahan lebih dipentingkan dari hasilnya karena inti sebuah kejujuran adalah menyangkut sebuah proses yang di dalamnya ada perilaku dari dari aparatur. Perilaku aparatur yang clean akan terlihat jika proses penyelenggaraan pemerintahan yang ada tanpa sebuah rekayasa, apa adanya, sesuai dengan prosedur yang ada, tanpa unsur keberpihakan dan hilangnya efek ekonomi bagi pelakunya baik di masa sekarang maupun yang akan datang. Saat prosesnya sudah mengandung unsur keberpihakan dan berpotensi mendatangkan keuntungan yang dapat dinilai secara ekonomi baik saat ini atau di masa mendatang, maka hal itu sebagai sebuah sinyal bahwa clean government tak akan terwujud.
Karenanya, keberpihakan pada kejujuran bermakna tunggal menjadi keharusan yang tak bisa ditawar bila clean government menjadi sebuah cita-cita. Ketika masih sepakat bahwa kejujuran bersifat kontekstual maka clean government hanya akan merupakan mimpi. Apalagi masih adanya usaha untuk mencari makna lain dari sebuah kejujuran atau mencari pembenaran dari ketidakjujuran, maka semakin jauh negeri ini dari apa yang disebut clean government.
Komitmen terhadap Clean Government
Harapan untuk mewujudkan clean government akan menjadi kenyataan saat para penyelenggara pemerintah bersama-sama berkomitmen bahwa mereka dilahirkan untuk ikut membangun negeri ini, bukan hanya menikmati apalagi merusak negeri ini. Tanpa adanya komitmen bersama, clean government takkan pernah lahir, bahkan sengaja dihambat oleh yang punya kepentingan agar clean government takkan terwujud. Komitmen tersebut perlu dibangun dari jenjang pemerintahan tertinggi setingkat menteri sampai tingkatan terendah. Keteladanan dari jenjang yang lebih tinggi akan menjadi pemicu munculnya clean government pada tingkatan di bawahnya; begitu seterusnya.
Tidak hanya itu. Komitmen juga perlu ada pada masyarakat untuk membantu menciptakan pemerintah yang bersih dari KKN. Kebiasaan untuk tidak memberikan sesuatu dan menjanjikan memberikan sesuatu kepada aparatur perlu dikembangkan menjadi gaya hidup dalam berbangsa agar perilaku KKN semakin tak ada tempat. Budaya jalan pintas untuk memperoleh pelayanan perlu dihindari agar perilaku tersebut semakin hilang. Biarkan KKN menjadi masa lalu dan saat ini menjadi era pelayanan publik di mana aparatur adalah sebagai pelayan publik yang harus memberikan pelayanan prima kepada masyarakat.