Oleh: Aziz Fuadi
Emosi kebanyakan disamakan dengan perilaku negatif. Mungkin Anda seringkali mendengar perkataan teman Anda bahwa si A emosinya tinggi, si B gampang emosi atau penilaian-penilaian negatif lain. Maka emosi dipercaya memberikan dampak buruk di tempat kerja karena bersifat merusak. Benarkah demikian?
Menurut Robbins dan Judge (2015) emosi bisa bernuansa positif dan negatif. Menurutnya emosi adalah perasaan seseorang yang intens, yang diarahkan pada seseorang atau sesuatu dan timbul karena adanya peristiwa khusus yang dialaminya.
Perasaan gembira, semangat, bahagia, damai, rileks, tenang, waspada, suka, cinta, peduli adalah contoh-contoh emosi positif, sedangkan marah, tersinggung, benci, sedih, depresi, bosan, lesu, kecewa, gugup dan tegang adalah conoth emosi negatif. Emosi tersebut cepat datang dan pergi, tergantung dari suasana hati pada saat itu. Misalnya Anda sedang dikritik teman kerja Anda bahwa hasil pekerjaan Anda buruk, maka emosi yang Anda tunjukkan bisa jadi marah atau tersinggung sebentar karena suasana hati Anda pada saat itu sedang baik; namun ketika kritikan tersebut dilakukan pada saat suasana hati Anda sedang tidak baik, maka emosi negatif seperti marah dan tersinggung bisa jadi bisa berlangsung relatif lama.
Meskipun emosi biasanya diekspresikan melalui wajah dan sikap sehingga orang lain mengerti apa yang dirasakan seseorang, namun hal tersebut tidak selalu terjadi. Perbedaan budaya akan sangat mempengaruhi bagaimana seseorang bersikap dan mengatur emosi yang dirasakannya. Orang Amerika Serikat yang berbudaya individualis dan liberal akan lebih ekspresif menampilkan emosinya dibanding dengan orang Timur Tengah. Sebuah senyuman menurut budaya Amerika Serikat akan dianggap sebagai ungkapan kehangatan dalam pergaulan, tetapi pada budaya Timur Tengah, senyuman bisa diartikan sebagai ketertarikan secara seksual jika disampaikan ke lawan jenis. Masyarakat Surabaya, yang bersifat terbuka dan terus terang, tentunya sangat berbeda dengan masyarakat Yogyakarta yang cenderung mampu menahan emosinya. Maka masyarakat Surabaya akan lebih ekspresif mengutarakan apa yang dirasakan dibandingkan masyarakat Yogyakarta.
Dunia kerja pun membatasi atau mengatur emosi seseorang, sehingga emosi yang ditampilkan (displayed emotion) seorang pegawai sangat dimungkinkan berbeda dengan emosi yang dirasakan (felt emotion) karena tuntutan profesi. Seorang customer service pada bank misalnya, ia akan selalu menampilkan wajah ceria, senyum dan bersifat melayani ketika berhadapan dengan nasabah, meskipun pada saat itu ia sedang sedih dan kecewa. Perawat di rumah sakit tidak mungkin akan membentak atau memarahi pasien yang rewel, meskipun yang ia rasakan adalah perasaan jengkel. Kondisi tersebut menurut Robbins dan Judge (2015) dikatakan sebagai disonansi emosi (emotional dissonance).
Disonansi emosi tidak hanya dialami mereka yang berprofesi di sektor jasa. Di lingkungan kerja yang bukan sektor jasa pun fenomena desonansi emosi sering kita temukan. Seringkali kita dituntut untuk menampilkan emosi yang berbeda dengan yang kita rasakan. Di tempat kerja, kita sangat mungkin berinteraksi dengan orang yang tidak kita sukai karena perilakunya yang menurut kita sangat menyebalkan. Apakah kita akan marah-marah atau mengungapkan emosi kita saat bertemu dengannya tiap hari? Tentu saja tidak. Di samping sikap tersebut akan menimbulkan perasaan tidak nyaman, dan kaku, konflik interpersonal sangat mungkin akan muncul.
Sumber Emosi
Emosi yang diekspresikan seseorang timbul dari berbagai sumber. Ketika teman Anda menampilkan emosinya hal itu bisa muncul dari satu sumber ataupun beragam sumber yang saling mempekuat. Sumber-sumber emosi tersebut menurut Robbins dan Judge berupa:
Kepribadian. Kepribadian akan menentukan reaksi yang ditampilkan sseorang terhadap kondisi yang dihadapi sehingga tiap orang akan memperlihatlan reaksi yang berbeda dari sebuah peristiwa yang dihadapi. Dua orang pegawai yang sama-sama dimarahi oleh manajernya akan menunjukkan ekspresi dan sikap yang berbeda. Yang satu mungkin akan menampakkan kekecewaannya, dongkol, marah, mengomel dan menceritakan kepada teman lain, namun pegawai yang satunya lagi mungkin terlihat sedikit kecewa, memendam rasa, atau menganggapnya hal yang biasa.
Waktu dalam Hari. Waktu akan mempengaruhi emosi dan suasana hati seseorang. Robbins dan Judge (2015) menguraikan hasil sebuah riset yang menunjukkan bahwa seseorang akan mencapai puncak emosi positif pada pukul 10.00 pagi, selanjutnya akan stabil sampai dengan pukul 19.00 malam. Setelah itu, level emosi positif akan menurun hingga tengah malam, setelah itu bagi yang masih terjaga akan mengalami penurunan terus dan naik lagi pada saat matahari terbit.
Hari dalam Minggu. Kebanyakan orang beranggapan bahwa akhir pekan yaitu hari Sabtu dan Minggu adalah hari di mana emosi positif seseorang akan meningkat dan menurun lagi pada Senin pagi. Namun pada masyarakat Jepang emosi positif justeru paling tinggi di hari Senin pagi. Sedangkan emosi negatif pada sebagian besar budaya terjadi pada hari Senin.
Stress. Kondisi stress yang dirasakan pegawai di tempat kerja dari pagi hingga sore hari cukup membuat emosi negatif, apalagi pekerjaan tersebut adalah jenis pekerjaan yang harus dikerjakan berbatas waktu atau adanya target tertentu. Meskipun pada orang-orang tertentu, mereka mampu menangani stress dan menganggap biasa kondisi yang dialaminya di tempat kerja, namun bagi kebanyakan orang stress akan menumbuhkan munculnya emosi dan suasana hati yang negatif.
Aktivitas Sosial. Aktivitas sosial yang dilakukan orang biasanya akan menimbulkan emosi dan suasana positif. Kegiatan seperti rekreasi, berkumpul dengan keluarga, sanak famili, teman atau kegiatan sosial lainnya cukup meningkatkan emosi positif seseorang. Interaksi sosial akan menimbulkan emosi dan suasana hati positif, sebaliknya ketika seseorang berada dalam suasana hati yang positif, ia cenderung untuk berinteraksi dengan orang lain. Karenanya antara interaksi dan emosi dan suasana hati positif mempunyai keterkaitan yang erat.
Tidur. Waktu tidur yang cukup akan menimbulkan emosi dan suasana hati positif pada seseorang, sedangkan kekurangan tidur akibat pekerjaan atau aktivitas yang melelahkan akan menimbulkan depresi dan emosi negatif lainnya. Riset telah menunjukkan bahwa tidur yang tidak cukup akan mengganggu individu dalam pengambilan keputusan dan membuatnya sulit untuk mengendalikan emosi. Kualitas tidur yang buruk juga akan menurunkan kepuasan kerja pegawai.
Olahraga. Bagi kebanyakan orang, olahraga akan meningkatkan emosi dan suasana hati yang positif. Banyaknya suplai oksigen ke dalam otak dari aktivitas olahraga, hal itu cukup membuat tubuh segar dan siap melakukan aktivitas kerja. Namun olahraga yang berlebih atau yang kadarnya melebihi ambang batas seseorang, justeru akan membuat kelelahan kronis, sehingga emsi positif justeru tidak akan diperoleh.
Umur. Mitos yang beredar saat ini bahwa emosi positif seperti antusiasme akan hadir ketika usia produktif, atau masa muda. Namun riset menunjukkan bahwa emosi positif akan meningkat seiring bertambahnya usia. Emosi positif lebih bertahan relatif lama pada orang-orang yang berumur dibandaingkan dengan mereka yang lebih muda. Studi telah menunjukkan bahwa pengalaman emosional seseorang akan membaik dengan bertambahnya usia, sedangkan mereka lebih sedikit mengalami emosi negatif.
Jenis Kelamin. Kebanyakan orang beranggapan bahwa wanita lebih emsional dibanding pria. Mereka lebih ekspresif dalam menampilkan emosinya, baik emosi positif atau negatif. Nmun studi dari 37 negara menemukan bahwa ternyata pria cenderung lebih menampilkan emosi pada level yang tinggi dibanding wanita seperti emosi marah, sedangkan wanita menampilkan emosi tak berdaya (Robbins dan Judge, 2015). Wanita biasanya menampilkan reaksi emosi karena bersumber dari faktor kepribadian sedangkan pria lebih bereaksi karena faktor lingkungan.
Pengaturan Tampilan Emosi
Lingkungan kerja adalah tempat berkumpulnya individu-individu dengan kepribadian yang berbeda sehingga level emosi yang ditampilkan oleh tiap orang bisa sangat berbeda. Beragamnya level emosi tersebut mendorong setiap organisasi untuk mengatur emosi mereka sehingga emosi yang ditampilkan oleh setiap pegawai diharapkan tidak menganggu tingkat kenyamanan pegawai lainnya dan tidak memberi dampak buruk bagi menurunnya kinerja pegawai, apalagi emosi negatif.
Beragamnya tugas dan pekerjaan yang ada di tempat kerja juga mendorong munculnya emosi pada pegawai, apakah emosi positif ataupun negatif. Stress di tempat kerja, konflik dan pertikaian kadang menjadi peristiwa yang tak terhindarkan.
Karenanya, setiap organisasi mempunyai nilai-nilai dalam bersikap dan berperilaku di tempat kerja, entah itu berupa norma, peraturan ataupun budaya organisasi. Biasanya sesuatu yang tidak tertulis secara eksplisit dalam bentuk peraturan akan menjadi sebuah norma dan budaya dari organisasi tersebut, di mana setiap anggota organisasi diharapkan memahami norma dan budaya yang berlaku di tempat kerja.
Norma, peraturan dan budaya tersebut berfungsi sebagai pedoman bagi anggota yang ada di dalamnya tentang tuntutan sikap dan perilaku yang sesuai, termasuk bagaimana menampilkan emosi di tempat kerja. Perusahaan seperti perbankan misalnya, secara ketat mengatur bagaimana tampilan emosi yang harus ditunjukkan kepada nasabahnya. Keramahtamahan yang ditampilkan para pegawai bank yang ditunjukkan oleh ekspresi wajah mereka menunjukkan adanya norma, peraturan dan budaya kerja yang berlaku.
Pengaruh Negatif Emosi
Ekspresi emosi seseorang pada tingkat yang relatif tinggi, terutama emosi negatif, di samping akan membuat kurang nyaman orang lain, hal tersebut memberikan dampak negatif pada lingkungan kerja. Reaksi yang beragam akan muncul ketika individu merasakan adanya emosi negatif dengan level yang tinggi di lingkungan kerjanya. Rasa tidak enak, takut atau jengkel akan dirasakan seseorang. Bahkan pada individu yang tergolong sensitif akan merasakan jantungnya berdetak lebih kencang atau berdebar saat melihat orang lain marah.
Emosi pada tingkat yang tinggi dianggap tidak wajar ketika ditampilkan di tempat kerja, karena lingkungan kerja idealnya adalah lingkungan di mana orang-orang yang ada di dalamnya mempunyi tingkat emosi yang relatif stabil dan seragam. Emosi positif atau negatif akan dirasa kurang etis ketika ditunjukkan secara berlebihan. Tertawa terbahak-bahak yang identik dengan emosi positif yang tinggi, juga kurang pantas ditampilkan di tempat kerja; apalagi emosi negatif, seperti marah, berteriak, membentak atau tingkat depresi yang tinggi.
Maka emosi negatif yang ditampilkan di tempat kerja akan berdampak langsung pada kondisi psikhologis orang-orang di lingkungan kerja, Padahal kondisi psikologis tersebut akan mengganggu kinerja seseorang. Orang dengan kondisi psikologis yang sehat cenderung akan menampilkan kinerja yang baik dibandingkan dengan mereka dengan kesehatan psikologis yang buruk.
Penanganan Pegawai dengan Level Emosi Tinggi
Tampilan emosi pegawai di tempat kerja terkadang tidak sesuai dengan norma, peraturan atau budaya yang ada. Pada pegawai yang biasanya berada pada zona nyaman, seperti di lembaga pemerintah, di mana pemutusan hubungan kerja harus melalui regulasi yang bertingkat, hal tersebut mendorong pegawai leluasa utuk menampilkan emosi di tempat kerja, termasuk emosi yang berlebihan. Konflik di tempat kerja yang melibatkan emosi pada level yang relatif tinggi sangat mungkin terjadi. Akibatnya, kondisi hubungan sosial di tempat kerja bisa terganggu, bahkan bisa menganggu kinerja pegawai.
Konseling terhadap pegawai dengan level emosi tinggi biasanya dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang peduli dengan pegawai mereka. Dialog empat mata seringkali dilakukan untuk mengingatkan kembali pegawai tentang etika, norma, peraturan dan budaya yang berlaku. Dari konseling tersebut, akan diperoleh jawaban mengapa pegawai dengan emosi tinggi sering menampilkan emosinya dan kondisi apa yang membuat pegawai tersebut mengekspresikan emosi dengan level tinggi. Pada kesempatan tersebut disampaikan pula dampak negatif ketika emosi tinggi ditampilkan di tempat kerja. Dengan pendekatan interpersonal yang baik, dimungkinkan konseling tersebut mampu mengatasi permasalahan emosi tinggi di tempat kerja.
Pada lembaga pemerintah, peran sebagai konselor pegawai yang bermasalah dipegang oleh kepala sub bagian yang menangani kepegawaian atau jabatan yang setara. Bagian tersebut bertanggung jawab terhadap pengelolaan administrasi sekaligus sebagai tempat konseling pegawai yang bermasalah.