Oleh: Aziz Fuadi
Kewajiban pegawai untuk melakukan finger print sebagai bentuk kehadiran di lembaga pemerintah relatif lama berlangsung, apalagi sejak diberikannya tunjangan kinerja bagi PNS pusat beberapa tahun lalu. Namun hal itu menyisakan persoalan yang berkaitan dengan etika. Penerapan sistem apapun namanya, entah itu sistem kehadiran pegawai dengan finger print atau sistem yang lain yang diterapkan dalam organisasi, selalu saja bisa diakali oleh pelaku dari sebuah sistem. Maka pilihan untuk mengakali atau tidak mengakali akhirnya bersentuhan dengan istilah yang namanya etika.
Etika berkaitan dengan masalah moral dan pilihan seseorang dalam memandang sesuatu benar atau salah. Karenanya, sesuatu akan dipandang tidak etis oleh seseorang atau sekelompok orang, namun bisa jadi akan dipandang etis bagi individu atau kelompok yang lain. Maka etika menjadi begitu relatif, tergantung dari pandangan orang dan selaras dengan sistem nilai yang diakui oleh individu atau kelompok sebagai pedoman berperilaku.
Etika tersebut bisanya dipengaruhi oleh pengalaman pribadi, keluarga, teman, pendidikan dan faktor lain yang memproses individu mempunyai pandangan tentang etika. Maka ibaratnya, etika menjadi sebuah produk dengan kualitas yang berbeda tergantung pada pabriknya. Ketika etika tersebut berada pada individu yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebaikan, maka terciptalah etika yang sarat dengan nilai-nilai yang diakui kebenarannya oleh masyarakat. Namun jika etika tersebut muncul dari mereka yang berseberangan dengan nilai-nilai kebenaran, maka etika yang tercipta akan menunjukkan keberpihakan pada nilai-nilai yang negatif.
Maka etika seringkali diseret untuk menyesuaikan dengan kepentingan individu atau kelompok. Sesuatu akan dipandang etis oleh individu atau keompok jika hal tersebut menguntungkan individu atau kelompok tersebut. Perilaku yang tidak etis bisa menjadi etis karena hal tersebut memeuhi kepentingan kelompok. Karenanya, sangat dimungkinkan terjadi rekayasa etika atau kegiatan yang bertujuan untuk mendapatkan pembenaran terhadap perilaku yang sebenarnya tidak etis agar terlihat etis. Berbagai alasan logis mereka nyatakan, kalimat pembenaran terus dilontarkan dengan harapan timbulnya persepsi yang sama dari anggota organisasi terhadap rekayasa etika.
Unsur pemenuhan kebutuhan yang lebih menonjol akan mendorong individu atau kelompok untuk mengesampingkan nilai etika yang sebenarnya. Maka etika tidak lagi berpedoman pada nilai-nilai yang telah diyakini kebenarannya, namun berdasar pada kebutuhan pribadi atau kelompok. Sepanjang etika tersebut memenuhi kebutuhan individu atau kelompok maka mereka mendukung etika tersebut, namun ketika etika tidak lagi memenuhi kebutuhan mereka atau dipandang berseberangan dengan kepentingan mereka maka akan terjadi usaha untuk membentuk etika yang selaras dengan kebutuhan mereka.
Kembali soal daftar hadir memakai finger print, bagi sebagian individu, finger hanya di saat jam masuk dan pulang akan dianggap sebagai sebuah kebenaran dengan alasan tidak ada pekerjaan di kantor. Padahal peraturan yang ada selama ini adalah bahwa kehadiran mereka dalam satu minggu sejumlah 37,5 jam. Jika mereka hadir hanya untuk membatalkan formalitas belaka, hanya berapa menit mereka berada di kantor? Mungkin hanya 15 menit. Itupun diisi dengan aktivitas sosial seperti menyapa rekan kerja yang lain, selanjutnya tak kembali entah ke mana. Jika Anda tanya mereka, apakah etis seperti itu. Pasti jawabannya, hal tersebut etis dan dapat dibenarkan karena telah mengisi daftar hadir dengan finger print.
Hadir masuk kerja dengan finger print adalah salah satu contoh kecil di mana sistem selalu saja ada yang mengakali. Masih banyak contoh-contoh lain yang berujud perilaku yang tidak etis, namun dianggap etis oleh sebagian individu atau kelompok karena perilaku tersebut memenuhi kebutuhan dan kepentingan sebagian individu atau keompok dalam organisasi. Karenanya, etika kerja menjadi sangat subyektif. Seberapa subyektif sebuah etika, akan tergantung pada seberapa banyak kepentingan yang terlibat di dalamnya. Semakin banyak kepentingan dari individu atau kelompok, maka semakin subyektif etika yang diciptakannya. Akhirnya etika hanya berlaku bagi individu atau sekelompok orang dalam organisasi.
Ketika organisasi dikuasai oleh sekelompok orang dan mempunyai pengaruh secara sosial maka etika yang diberlakukan tidak jauh dari nilai-nilai kelompok tersebut. Apalagi orang yang dipandang mempunyai pengaruh secara struktur formal dalam organisasi membiarkan atau justeru mendukung adanya etika kelompok tersebut. Maka etika yang pada awalnya hanya berlaku pada kelompok tertentu akan berkembang menjadi etika organisasi yang dianut oleh sebagian besar anggota.
Maka sebenarnya etika yang dipandang subyektif yang berpihak pada kelompok tertentu dan cenderung bermuatan nilai negatif dapat dicegah perkembangannya dengan hadirnya pemimpin dalam organisasi. Pemimpin akan menjadi warna bagaimana etika yang akan berkembang dalam organisasi. Dengan berpedoman pada aturan yang ada ditambah dengan keberpihakan pada nilai-nilai universal, maka etika yang berlaku pada organisai akan mempunyai tingkat obyektivitas yang tinggi hingga anggota merasakan adanya keadilan, ketenangan dan ketenteraman atas etika yang berlaku.