Oleh: Aziz Fuadi
Fenomena perilaku pegawai mungkin seringkali Anda jumpai di ligkungan kerja. Ada pegawai yang motivasi kerjanya tinggi, kurang mempunyai kemampuan dan tak ada harapan atas jenjang karir yang kebih tinggi; ada pegawai yang kompetensinya kurang namun punya harapan untuk meraih jenjang karir yang lebih tinggi; ada pula pegawai yang motivasinya tinggi, mempunyai kemampuan dan berharap untuk meraih jenjang karir yang lebih baik; namun ada pula pegawai yang motivasi kerjanya tinggi, mempunyai kemampuan, tetapi tak ada harapan untuk meraih karir yang lebih tinggi. Fenomena tersebut bisa dijelaskan dengan teori harapan (expectancy theory).
Ecpectancy theory (teori harapan) termasuk salah satu teori motivasi yang didasarkan pada proses kognitif seseorang. Dalam mencapai reward yang diharapkan, dalam diri individu akan terjadi proses kognitif, yang berkaitan dengan tingkat usaha dan kemampuannya. Pemikiran seseorang tentang outcome yang diharapkan akan menyebabkan perilaku dan tindakannya.
Dilihat dari sejarahnya, teori motivasi yang didasarkan atas proses kognitif, muncul pada akhir tahun 1970. Saat itu terdapat cognitive revolution dalam bidang psikologi. Para pakar psikologi mulai menggunakan pendekatan kognitif untuk memecahkan fenomena yang ada, seperti pemecahan masalah yang dihadapi dunia industri, menentukan pilihan atau menyelesaikan solusi atas penyakit psikologis yang terjadi. Salah satu faktor yang mendorong perkembangan revolusi kognitif tersebut adalah mulai diterapkannya teknologi komputer dalam berbagai bidang. Adanya teknologi komputer mampu memicu perkembangan ilmu pengetahuan, termasuk dalam bidang perilaku organisasi.
Teori harapan dikembangkan oleh Victor Vroom. Menurutnya seorang pegawai yang mempunyai harapan yang tinggi maka tingkat usahanya juga tinggi sehingga dimungkinkan mempunyai kinerja yang tinggi pula; semakin tinggi harapannya maka semakin tinggi pula tingkat usahanya. Pegawai tersebut percaya bahwa perilakunya akan menghasilkan sebuah outcome dan outcome yang ia hasilkan sangat bernilai baginya. Jika kondisinya sebaliknya, yaitu jika tingkat harapannya rendah maka tingkat usahanya juga rendah sehingga kinerjanya juga rendah. Dalam praktiknya, Ia cenderung tidak peduli dengan outcome yang dihasilkannya.
Dalam teori harapan, perilaku seorang pegawai akan selalu dikaitkan dengan harapannya pada masa mendatang. Jika di masa mendatang ada sebuah keuntungan yang akan diperoleh atau dimungkinkan akan ada reward tertentu maka pada saat ini ia akan berusaha untuk mencapainya diiringi dengan kinerja yang tinggi. Harapan tersebut akan ditentukan oleh beberapa faktor, misalnya adanya kompetensi dan beberapa keunggulan yang ia miliki.
Perubahan perilaku seorang pegawai senantiasa akan mengiringi kehidupan organisasi. Sejak terbentuknya organisasi, dan ketika anggota mulai berperan mengelola organisasi tersebut, maka saat itu pula perilaku anggotanya akan mewarnai organisasi dan kebenaran teori Vroom bisa dilihat di dalamnya. Jika organisasi dipandang tidak memberikan peluang yang menguntungkan bagi seseorang di masa mendatang, maka ia cenderung tidak menampakkan usahanya yang maksimal dalam menangani pekerjaan. Namun, bila kondisinya sebaliknya, organisasi memberikan peluang yang memungkinkan seseorang memperoleh keuntungan dan reaward di masa mendatang, maka ia akan meningkatkan usahanya.
Teori Vroom Dikaitkan dengan Nilai Keihlasan
Teori motivasi ala Vroom adalah produk-produk teori negara barat yang notabene selalu bertendensi transaksional dan dipengaruhi paham kapitalisme. Dalam konsep transaksional, seseorang akan selalu menghitung-hitung tingkat reward yang akan diperoleh dibandingkan pengorbanan yang ia lakukan. Seorang pegawai akan menunjukkan kinerjanya jika ada harapan yang menguntungkan di masa mendatang. Tingkat usahanya cenderung akan disejajarkan dengan berapa besar reward yang akan diperoleh. Maka teori tersebut bisa dikatakan sebagai perilaku pamrih dalam konsep Islam.
Dalam nilai-nilai Islam, perilaku pamrih sangat tidak dianjurkan meskipun hal tersebut diterapkan dalam dunia kerja. Pamrih dalam nilai Islam adalah kebalikan dari nilai keihlasan. Hal tersebut bukan berarti bekerja tanpa gaji adalah bentuk dari ihlas. Gaji dan tunjangan kinerja adalah sebagai konsekuensi logis dan bentuk kompensasi pegawai karena ia bekerja. Namun ketika tiap sisi pekerjaan selalu dikaitkan dengan besarnya reward yang akan diperoleh dan selalu menghitung keuntungan-keuntungan yang akan diperolehnya; hal tersebut sudah menunjukkan perilaku bekerja yang hanya didasarkan konsep transaksional semata. Karenanya perilaku tersebut sangat berseberangan dengan nilai-nilai Islam, terutama nilai keihlasan.
Sebenarnya, nilai keihlasan dalam bekerja juga dikenal di dunia barat. Mereka menamakan nilai keihlasan dalam bekerja sebagai perilaku OCB (organizational citizenship behavior/ perilaku warga organisasi yang baik) yang menunjukkan adanya extra role (peran ekstra) yang dilakukan oleh seorang pegawai karena kepeduliannya terhadap kondisi organisasi. Perilaku tersebut muncul karena kesadaran diri dari pegawai untuk membantu orang lain dan rasa tanggung jawabnya terhadap organisasi. Maka pegawai tersebut tak meminta kompensasi atau reward atas peran ekstra yang dilakukannya. Penelitian pun telah menunjukkan bahwa perilaku OCB pada pegawai dipercaya akan mendongkrak kinerja organisasi. Maka para pegawai di dunia barat menerapkan OCB sebagai bentuk pelayanan prima pada customer, wujud dari profesioanlisme dan komitmennya terhadap organisasi tempat mereka bekerja. Ada semacam dorongan pada mereka untuk ikut bertanggung jawab pada kemajuan organisasi. Mereka percaya bahwa peran ekstra yang dilakukannya pada akhirnya akan berdampak padanya sebagai anggota organisasi. Bahkan OCB sudah menjadi sebuah kebutuhan bagi mereka.
Keihlasan dalam bekerja sudah selayaknya diterapkan pegawai ketika mereka telah melewati fase transaksional. Konsep transaksional adalah konsep awal yang menjadi peletak dasar dalam penggajian terhadap pegawai dan hal tersebut adalah sesuatu yang sangat normatif. Keadilan dalam penggajian pegawai juga menganut konsep transaksional. Orang bekerja pasti akan mendapatkan gaji dan mereka yang berkinerja lebih baik sudah sepantasnya jika mendapatkan kompensasi yang lebih tinggi. Itulah praktik konsep transaksional. Namun ketika konsep itu telah dilalui maka perlu bergerak pada tingkatan selanjutnya, yaitu konsep keihlasan dalam bekerja. Jika meminjam istilah barat adalah menjadi pegawai yang berjiwa OCB yang bersedia menjalankan peran ekstra demi kemajuan organisasi, tidak hanya mementingkan kepentingan yang bersifat individual semata. Meski tugas organisasi adalah memadukan tercapainya kepentingan organisasi dan individu secara bersama-sama, namun jiwa keihlasan pada diri pegawai akan meringankan tugas organisasi dalam mencapai tujuannya.
Sudah sepantasnya jika pegawai pada Kementerian Agama mengawali penerapan perilaku ihlas atau OCB pada organisasi karena menjadi kementerian yang pertama kali mencetuskan motto ihlas beramal. Sebenarnya Islam telah lama mengenal OCB yaitu sejak jaman rasulullah. Hanya saja istilah yang dipakai adalah kata “ihlas” yang kepopulerannya kalah dengan istilah OCB yang familiar dalam ilmu manajemen. Namun antara keduanya ada sedikit perbedaan. Jika istilah OCB lebih menekankan pada motivasi seorang pegawai untuk melaksanakan pekerjaan tanpa pamrih sedangkan ihlas lebih menekankan pada suasana hati seseorang ketika melakukan sebuah pekerjaan yang tanpa pamrih.