Oleh: Wikaning Tri Dadari
Banyak orang menganggap hidup bahagia adalah ketika kita memiliki karir yang bagus, pendidikan tinggi, rumah, mobil, dan materi yang melimpah. Ada tingkatan-tingkatan hidup yang wajib dicapai ketika kita bertumbuh dan bertambah usia. Padahal, mencapai kesuksesan menurut standar masyarakat itu cukup berat.
Ketika kita melihat teman-teman kita, atau mungkin figur publik seperti Maudy Ayunda dan Jerome Polin yang tampaknya berhasil mencapai kesuksesan-kesuksesan dengan sempurna, kita mulai berpikir bahwa sepertinya kita belum layak menikmati hidup. Kita mulai resah dan menjadi susah untuk bahagia.
Alain de Botton, seorang filsuf modern dan pendiri School of Life, menawarkan konsep hidup biasa saja sebagai solusi atas keresahan hidup yang dialami banyak orang – mungkin termasuk diri kita sendiri. Ia menjabarkan bagaimana cara hidup bahagia meskipun kita menjalani hidup yang biasa saja.
Menurut Alain, ada tiga sumber masalah utama yang membuat kita tidak bisa menikmati hidup secara utuh.
Menurut Alain, salah satu masalah besar yang ada dalam masyarakat saat ini adalah keangkuhan. Hal ini berkaitan dengan dunia modern yang semakin materialistik. Alain berpendapat, mendapatkan pekerjaan di zaman sekarang tidaklah sesulit zaman dahulu. Namun banyak orang kesulitan menikmati hidup karena mengalami krisis dalam berkarir. Kebanyakan orang terlalu memikirkan model karir yang sempurna agar dipandang baik di masyarakat. Menurut mereka, status sosial dan produk materi adalah hal penting yang membawa mereka pada kehidupan yang lebih baik. Akibatnya, mereka tidak pernah tenang karena terus dibayangi oleh kekhawatiran soal pencapaian karir.
Sejatinya, permasalahan bukan terletak pada pencapaian karir itu, melainkan kita yang hidup dalam masyarakat yang terlalu angkuh. Misalnya, ketika bertemu dengan teman lama, kita sering ditanya “sekarang kerja dimana?”. Ketika seseorang dapat menjelaskan bahwa ia sedang menempati posisi yang bagus dalam pekerjaannya, masyarakat akan menganggap wajar bila ia mendapatkan perhatian lebih. Sebaliknya, jika seseorang sedang melakukan pekerjaan yang menurut mereka biasa saja, ia cenderung akan ditinggalkan. Ini bentuk keangkuhan pada zaman modern ini, kata Alain.
Banyak orang yang memamerkan pekerjaan, harta dan benda karena mereka membutuhkan pengakuan atas status sosialnya. Padahal, tidak jarang harta benda dan status ini membuat kita semakin jauh dari makna hidup yang sebenarnya. Menurut Alain, fenomena ini terjadi karena manusia kekurangan kasih sayang. Banyak dari kita kekurangan sosok yang bisa menerima kita apa adanya. Kita jauh dari orang yang tidak masalah dengan pekerjaan kita yang biasa saja. Kita jauh dari orang yang menerima kita atas diri kita sendiri.
Penerimaan terbesar bagi diri manusia seharusnya berasal dari keluarga. Tapi tidak jarang, justru keluarga yang memberi tuntutan berat dalam hidup. Orang tua seringkali berharap anaknya sukses menurut standar sosial. Kadangkala, ditambah dengan membandingkan anak mereka dengan anak orang lain yang pencapaiannya lebih tinggi. Tuntutan yang ada akhirnya membuat kita semakin memperhatikan pencapaian karir. Lebih parah, kita berusaha membuat orang yang sebenarnya pendapatnya tidak begitu penting didengar, agar kagum dengan apa yang telah kita capai.
Meritokrasi dianggap sebagai tatanan paling ideal dan adil untuk diterapkan pada zaman modern ini. Secara teori, meritrokasi adalah ideologi politik yang memberikan wewenang dan kekuasaan berdasarkan talenta yang dimiliki seseorang. Sederhananya, semakin kita dapat memberi value maka semakin tinggi reward yang kita dapat. Namun, menurut Alain, meritrokasi dapat menimbulkan pandangan negatif pada pencapaian seseorang. Seseorang akan terobsesi dengan pencapaian karir dan menganggap bahwa orang berhasil atas kerja keras, sementara yang gagal karena pemalas.
Padahal, keberhasilan bukanlah sekedar hitam dan putih. Banyak faktor yang perlu dipertimbangkan. Misalnya, orang yang lahir dalam keadaan cacat, memiliki penyakit bawaan, mengalami kecelakaan, dan sebagainya. Kita tidak berhak menghakimi orang lain tanpa mengetahui nilai terdalam darinya karena nilai kesuksesan itu relatif.
Tentu saja tidak ada yang salah dengan memiliki ambisi, yang salah adalah ketika ambisi itu mulai membuat diri tidak bahagia. Coba tanya pada diri sendiri, apakah ambisi itu benar ambisi kita atau ambisi orang lain yang sedang kita coba capai agar dihargai dan dicintai?
Mungkin hanya 1% orang di dunia ini yang dapat benar-benar merasakan sukses seperti Jeff Bezos atau Steve Jobs, pada akhirnya 99% sisanya akan hidup biasa-biasa saja.
Mengutip apa yang dikatakan Alain de Botton, kadang kita tidak sadar bahwa menjalani hidup biasa saja sebenarnya juga luar biasa. Kita hanya butuh dua hal untuk mencapainya.
Hidup biasa saja tidaklah menyedihkan. Hidup biasa saja adalah hal luar biasa karena mengajarkan kita menghargai melalui pemahaman kata “cukup”. Apalagi menjalani hidup biasa saja di era sekarang, semua hal dapat kita peroleh dengan mudah, mulai dari akses obat hingga akses informasi. Hal ini selaras dengan perkembangan teknologi yang semakin maju.
Semua kembali pada diri masing-masing. Seperti yang sempat disinggung sebelumnya, tidak masalah memiliki ambisi yang besar. Hanya saja jangan sampai ambisi itu menghilangkan jati diri. Jangan sampai kita melakukan sesuatu hanya untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain
Referensi: