Oleh: Moh. Syaifudin
(ASN BDK Surabaya)
Alkisah tersebutlah seorang pemuda berusia 26 tahun. Dia telah menyelesaikan studi S2-nya dan kini menempati posisi strategis di sebuah perusahaan energi ternama di Indonesia. Di suatu sore, dia berbicara kepada ibunya, menyampaikan sesuatu yang selama ini mengganjal di hatinya.
“Ibu, aku ingin memperkenalkan seseorang kepadamu. Seseorang yang akan menjadi menantumu.”
“Benarkah?” Sahut ibunya terperanjat bahagia.
“Tapi, ….”
“Kenapa, Anakku?” Sahut sang ibu menangkap kegelisahan putranya.
“Calon menantumu ini tidak pandai memasak seperti Ibu. Dia tidak juga cakap mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga yang lain,” sang putra menjelaskan.
Seraya mengusap kepala putranya, sang ibu mulai menjelaskan, “Anakku, ketika seorang pria akan menikahi seorang wanita, maka ia harus siap untuk memenuhi kebutuhan istri dan anak-anaknya kelak. Bukan hanya kebutuhan lahir, tetapi juga kebutuhan batin mereka.”
“Ibu, karirku saat ini sudah lumayan. In sya Allah anakmu ini sanggup memenuhi kebutuhan keluarganya kelak,” buru-buru putranya menyahut.
“Anakku, Ibu tahu. Tapi dengarkan dulu penjelasan Ibu,” sembari kembali sang ibu mengusap kepala anaknya.
“Ketika seorang pria memutuskan untuk membina rumah tangga, maka semua urusan rumah tangga akan menjadi tanggung jawabnya. Sandang, pangan, papan, pendidikan, dll semuanya menjadi tanggung jawabnya, tanggung jawab suami. Sandang, misalnya. Untuk urusan sandang, suami tidak cukup hanya membelikan baju. Tetapi bagaimana baju itu ketika sudah dipakai bisa dipakai kembali dengan nyaman itu juga menjadi tanggung jawab suami. Artinya, urusan mencuci, menyetrika, dan menata baju di lemari adalah tanggung jawab suami. Lalu, urusan pangan. Untuk urusan pangan, suami tidak cukup hanya memberikan belanja bulanan kepada istrinya. Tetapi bagaimana bahan pangan diperoleh, bagaimana bahan pangan diolah menjadi makanan yang siap untuk dimakan, bagaimana peralatan dapur dan peralatan makan bisa dipakai kembali dalam keadaan bersih dan higienis, itu semua juga menjadi tanggung jawab suami. Artinya, urusan belanja dapur, urusan memasak, dan urusan mencuci peralatan dapur dan peralatan makan adalah tugas seorang suami. Kemudian, ususan papan. Untuk urusan papan, suami tidak hanya membangunkan atau membelikan rumah untuk keluarganya. Tetapi bagaimana rumah itu bersih, rapi, tidak ada kotoran dan lain-lain adalah menjadi tanggung jawab suami. Artinya, urusan menyapu dan mengepel lantai, membereskan tempat tidur, dan lain-lain menjadi tugas suami.”
Sang anak hanya manggut-manggut saja tidak sempat menyela penjelasan ibunya. Tidak pernah terpikir olehnya tugas seorang suami begitu banyaknya.
“Lalu urusan pendidikan,” sambung ibunya. “Banyak orang berpendapat bahwa ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya. Tetapi adakah yang pernah berpikir tentang siapa kepala sekolahnya? Kepala sekolahnya adalah ayah, sang suami. Ia bertanggung jawab penuh terhadap pendidikan anak-anaknya. Itulah mengapa figur pendidik yang disebut dalam kitab suci kita adalah Luqmanul Hakim, seorang ayah, bukan seorang ibu,” kata sang ibu menutup penjelasannya.
“Tapi, Ibu,” dengan hati-hati sang anak bertanya. “Jika semua urusan tadi menjadi tanggung jawab dan tugas seorang suami, mengapa selama ini yang melakukan itu semua adalah Ibu, bukan ayah? Ayah hanya sesekali saja membantu pekerjaan Ibu.”
“Anakku, di balik kesuksesan seorang suami, di sana pasti ada istri yang membantu sang suami. Tugas seorang istri tidak banyak, Anakku. Tugasnya hanya membantu suaminya agar sukses melaksanakan tanggung jawab dan tugas-tugasnya. Tugas istri hanya satu, yaitu menyukseskan tugas suami,” jawab sang ibu menyimpulkan. “Jadi, jika kamu melihat ayah sesekali membantu Ibu, sebenarnya ayahmu tidak sedang membantu Ibu, tetapi ia sedang melaksanakan tugasnya,” ibunya menambahkan.
“Anakku, calon istri pilihanmu bisa jadi saat ini tidak pandai memasak dan tidak cakap mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Tapi jika dia memahami tugasnya, Ibu yakin dia akan belajar. Apalagi jika keinginan belajar itu dilandasi dengan cinta, kasih sayang, dan semangat mengabdi kepada suaminya, Ibu lebih yakin lagi ia akan mampu mengemban tugasnya sebagai istri yang baik bagi suaminya dan ibu yang baik bagi anak-anaknya kelak,” jelas sang ibu. Sang ibu melanjutkan, “Tentang kedudukan istri di hadapan suami, pepatah Jawa mengatakan “Suarga nunut, neraka katut.” Artinya, surganya istri itu nebeng surga suaminya. Jika masuk neraka maka masuknya ia ke nerakapun karena terbawa oleh suaminya.”
“Maka dari itu, Anakku,” sang ibu melanjutkan. “Sebelum kalian memutuskan untuk membina rumah tangga, pastaskanlah diri kalian untuk itu. Jadilah orang yang baik karena orang baik akan mendapatkan jodoh yang baik pula. Apa yang baru saja Ibu jelaskan kepadamu adalah tentang pola hubungan suami istri, tentang bagaimana posisi suami dan posisi istri dalam kehidupan rumah tangga. Tidak ada yang merasa superior. Tidak ada yang merasa inferior. Masing-masing menjalankan fungsi sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya.”
“Membangun rumah tangga itu bukan sekadar sampai maut memisahkan kalian. Lebih dari itu, tujuan rumah tangga adalah agar kelak kalian berkumpul kembali di dalam surga. Dan, surga hanya ditinggali oleh mereka yang pantas saja. Maka, sekali lagi, pantaskanlah diri kalian untuk itu,” ujar sang ibu menutup pelajaran bagi anaknya hari itu.
Semoga kita mendapatkan pelajaran dari apa yang mengganjal di hati sang pemuda tadi. (em-es)