Oleh: Aziz Fuadi
Ilmu kepemimpinan seringkali mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan dan perubahan lingkungan. Jika dulu ada kepemimpinan yang otokratis dan kaku yang memandang bahwa manusia harus diberikan aturan yang ketat dan jelas agar mereka mampu dibawa mencapai tujuan organisasi, selanjutnya berkembang kepemimpinan yang lebih humanis dan demokratis bahwa kepemimpinan harus lebih fleksibel yang melibatkan bawahan dalam pengambilan keputusan, ada kepemimpinan transformasional yang lebih memandang bawahan sebagai mitra yang tumbuh bersama; ada juga kepemimpinan autentik yang menekankan pada pentingnya melibatkan etika dan moral dalam penerapan kepemimpinan.
Dalam kepemimpinan autentik, hasil akhir dari kepemimpinan yaitu terealisirnya tujuan organisasi tidak lagi menjadi tujuan utama. Tujuan memang penting, namun harus dicapai dengan proses yang beretika dan mementingkan penerapan nilai-nilai moral. Bagi pemimpin autentik, etika dan moral menjadi bagian yang tak terpisahkan dari proses kepemimpinan. Mereka percaya bahwa penerapan etika dan moral selalu sejalan dengan aturan yang ada dalam organisasi, bahkan nilai-nilai etika dan moral akan mendorong penerapan aturan yang ada. Dalam praktik kepemimpinan yang autentik, aturan dipakai sebagai rambu-rambu sedangkan etika dan nilai-nilai moral sebagai kendaraan yang menghantarkan anggota organisasi untuk mencapai tujuan.
Pemimpin yang autentik akan mampu menempatkan diri. Meraka sangat memahami bagaimana mengambil sikap terhadap situasi tertentu dengan tetap menjaga kesantunan terhadap bawahan dan koleganya. Karenanya, ia akan mudah diterima dalam lingkungan sosial, bahkan kedatangannya semakin mempererat hubungan sosial yang ada. Bawahan merasa mendapatkan kenyamanan dalam hubungan sosial. Secara tidak sadar terjadi proses peniruan sikap dan perilaku pemimpin, di mana pemimpin menjadi sebuah model dalam bersikap dan berperilaku dalam organisasi. Etika dan moral pada akhirnya menjadi sebuah nilai-nilai yang terus diterapkan dalam berorganisasi. Hal itu bukan berarti kepemimpinan autentik lebih mengutamakan aspek sosial dan mengesampingkan tujuan organisasi. Tujuan dan proses dalam mencapai tujuan bagi pemimpin autentik menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan.
Dalam praktiknya, kepemimpinan autentik bukanlah model kepemimpinan yang egois, artinya segala aktivitas kepemimpinannya bukan untuk meningkatkan citra positif bagi dirinya atau adanya kepentingan yang bersifat personal. Pemimpin lebih mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan individualnya. Jika dalam kepemimpinan kharismatik, bisa saja seorang pemimpin memiliki agenda tersembunyi sehingga terkadang kepentingan individunya lebih ditonjolkan, tidaklah demikian dengan kepemimpinan autentik. Pemimpin lebih berpikir bahwa kepentingan organisasi perlu diutamakan dengan tetap mengedepankan etika dan nilai-nilai moral.
Pemimpin yang autentik akan menggunakan standar etika yang ideal sehinggga sangat menghindari perbuatan yang bertentangan dengan etika dan moral. Baginya, etika dan nilai-nilai moral sudah menjadi gaya hidup dalam bersikap dan berperilaku dalam lingkungan sosial. Keyakinannya tentang keutamaan mengedepankan etika dan nilai-nilai moral biasanya tidaklah sebatas pada saat penerapan kepemimpinannya, namun etika dan moral menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Maka sikap dan perilakunya baik di lingkungan kerja maupun di lingkungan sosial lainnya tidaklah berbeda. Menerapkan etika dan moral sudah menjadi sebuah kebutuhan bagi pemimpin autentik.
Kepemimpinan Pelayan
Kepemimpinan autentik sejalan dengan kepemimpinan pelayan (the servant leadership). Hal tersebut tampak sebagai sesuatu yang antagonis, di mana pemimpin adalah sosok yang dilayani, bukan melayani. Namun dalam kepemimpinan pelayan, sifat pelayanan dari pemimpin berbeda bentuknya dari sifat pelayanan dari bawahan ke atasan. Esensi dari pelayanan tetap sama, namun wujudnya sangat berbeda. Kerelaan hati untuk membantu bawahan, menerima pendapat yang benar dari bawahan, meluangkan waktu untuk menerima keluhan bawahan adalah bentuk-bentuk pelayanan dari pemimpin yang bersifat melayani.
Dalam kepemimpinan pelayan, perilaku tersebut bukan berdampak menjatuhkan harga diri seorang pemimpin. Justeru kemurahan hati seorang pemimpin akan menunjukkan nilai kepemimpinan tersebut. Seorang pemimpin yang murah hati akan dipandang bawahan lebih tinggi nilainya dibanding pemimpin yang angkuh dan suka marah-marah. Bahkan kedekatan pemimpin- bawahan akan menunjukkan keberadaan pemimpin dan fungsi kepemimpinannya.
Pelayanan merupakan unsur penting karena dipandang sebagai etika yang berlaku untuk semua budaya. Pelayanan telah diakui sebagai nilai universal yang berdampak positif bagi orang lain, customer maupun organsiasai. Sifat pelayanan yang bercirikan menyenangkan, membuat nyaman dan membantu orang lain sejalan dengan kepemimpinan autentik yang sarat dengan etika dan moral. Maka ketika seseorang menerapkan kepemimpinan autentik, ia akan bersifat melayani secara total baik itu dengan kolega, stakeholder ataupun bawahan.
Mengembangkan Kepercayaan
Kepemimpinan autentik tak bisa lepas dari unsur kepercayaan karena kepercayaan merupakaan kualitas utama seorang pemimpin yang autentik. Namun kepercayaan dari bawahan tak bisa datang begitu saja, melainkan melewati sebuah proses hingga bawahan menaruh keprcayaannya. Sikap dan perilaku pemimpin akan disoroti oleh bawahan dalam berbagai kondisi. Meraka akan selalu menilai segala sikap dan perilakunya dan menghubungkannya dengan sikap dan perilaku masa lalu. Jika pemimpin dianggap konsisten dalam sikap dan perilakunya, hal itu akan menumbuhkan kepercayaan bawahan.
Para bawahan juga akan menilai kejujuran pemimpin dalam perkataan, sikap dan perilaku. Meskipun kinerja pemimpin hasilnya nyata, namun jika dalam prosesnya mengabaikan kejujuran, maka hal itu akan menurunkan tingkat kepercayaan bawahan, bahkan bisa jadi pemimpin akan dicap sebagai pemimpin yang tidak pantas dijadikan panutan. Kepemimpinan autentik adalah model pemimpin yang dapat dijadikan panutan. Di samping kompetensi dalam pengambilan keputusan, pengetahuan dan kemampuan interpersonal, bawahan akan menetapkan indikator kejujuran sebagai ukuran untuk menilai tingkat kepercayaan mereka terhadap pemimpinnya. Ketidakjujuran pemimpin akan menurunkan tingkat kepercayaan bawahan pada titik nol. Sedangkan untuk meningkatkannya diperlukan proses yng relatif lama.
Penerapan Kepemipinan Autentik
Kepemimpinan autentik sangat cocok diterapkan dalam organisasi di mana etika dan moral sudah menjadi nilai-nilai diyakini kebenarannya oleh anggota. Jika diterapkan dalam organisasi yang kurang memegang nilai-nilai etika dan moral, maka diperlukan perjuangan keras dari pemimpin untuk menjadikan etika dan moral sebagai nilai-nilai yang berlaku dalam organisasi. Itupun perlu melalui tahap manajemen perubahan di mana pemimpin perlu menyosialisasikan nilai-nilai baru, membentuk agen perubahan yang terdiri dari orang-orang yang memiliki komitmen terhadap perubahan, mengevaluasi penerapan perubahan dan menganalisis dampak perubahan.
Adanya pemberlakuan nilai-nilai baru dari pemimpin pada organisasi pemerintah biasanya relatif tidak menimbulkan banyak penolakan dari anggota. Aturan yang ada pada lembaga pemerintah akan sejalan dengan nilai-nilai etika dan moral yang berlaku di masyarakat. Penolakan tersebut seringkali muncul dari kelompok tertentu, yaitu dari kelompok atau orang-orang tertentu yang saat ini menikmati hasil dari budaya yang berlaku pada organisasi saat ini. Dengan berlakunya nilai-nilai etika dan moral menjadi nilai baru bagi organisasi, dimungkinkan akan ada sumber daya tertentu yang tidak bisa dinikmati oleh kelompok tersebut. Nilai-nilai etika dan moral sangat tidak memungkinkan mereka untuk mendapatkannya. Bahkan kepemimpinan yang berdasar pada etika dan moral akan memebrangus perilaku anggota tersebut. Namun ketika kepemimpinan autentik benar-benar diterapkan secara benar, kelompok tersebut akan berangsur-angsur hilang atu mereka menyesuaikan dengan nilai-nilai baru.
Dalam organisasi sosial, bisnis dan organisasi non profit lainnya, penerapan kepemimpinan autentik tentunya akan disesuaikan dengan budaya yang berlaku pada organisasi tersebut. Penerapan kepemimpinan autentik yang tidak memperhatikan budaya yang ada, bisanya akan menimbulkan penolakan, apalagi nilai-nilai etika dan moral tersebut bertentangan dengan budaya yang ada. Meskipun beberapa studi menunjukkan bahwa penarapan kepemimpinan autentik secara umum mampu meningkatkan kinerja dan membentuk anggota organsasi sebagai warga organisasi yang baik (organizational citizenship behavior), namun standar etika dan moral-masing masing organisasi dan kelompok masyarakat akan sangat berbeda. Etika dan moral yang bersumber dari nilai-nilai yang bersifat universal akan lebih mudah diterima oleh anggota organisasi, misalnya nilai-nilai kejujuran, kekompakan, kerja-sama, saling membantu atau nilai-nilai kepercayaan. Sedangkan etika, nilai-kesopanan dan kesusilaan akan sangat terkait dengan budaya masyarakat setempat.
Kepemimpinan autentik hasilnya akan sangat ideal ketika penerapannya melibatkan kearifan lokal, sejalan dengan budaya masyarakat lokal dan mengintegrasikan nilai-nilai agama yang dapat diterima secara umum sebagai nilai-nilai yang berlaku pada organisasi. Tanpa hal itu, kepemimpinan autentik hanya akan menjadi model kepemimpinan yang kurang implementatif.