Oleh: Aziz Fuadi
Mungkin Anda sering mendengar kalimat dari rekan kerja di kantor Anda, “ biasanya seperti ini kok, mengapa diubah?” Kalimat tersebut menandakan bahwa di lingkungan kerja kita relatif banyak pegawai yang suka dengan zona kenyamanan dalam bekerja sehingga mereka malas melakukan inovasi baik dalam hal cara, proses, prosedur dan sistem dalam bekerja. Padahal dengan inovasi dimungkinkan akan memudahkan dan menciptakan efektivitas dalam bekerja.
Inovasi identik dengan perubahan sehingga inovasi akan dikaitkan dengan sesuatu yang bersifat baru atau pengembangan dari hal lama. Maka dengan inovasi diharapkan mampu memperbaiki hal lama atau menciptakan hal baru untuk mengganti yang lama. Sayangnya, terkadang orang alergi terhadap kata inovasi karena alasan tertentu, misalnya dibutuhkannya usaha dan pikiran yang lebih dibandingkan sebelumnya. Namun bagi mereka yang menyukai perubahan, mereka cenderung untuk berinovasi dalam bekerja.
Menurut Nijstad (2010), inovasi dibedakan menjadi dua jika dilihat dari model perubahan yang terjadi, yaitu incremental innovations dan radical innovations,. Incremental innovations menunjuk pada perubahan dan perbaikan atas sesuatu yang sudah ada dalam hal produk, jasa dan porsedur. Perbaikan atas produk dan jasa agar lebih bermanfaat, menarik, efektif dan efisien yang tidak mengganti secara keseluruhan produk dan jasa yang ada termasuk dalam incremental innovations. Sedangkan radical innovations terjadi jika produk, jasa dan prosedur yang ada diganti dengan produk, jasa dan prosedur yang baru namun mempunyai fungsi yang sama dengan produk, jasa dan prosedur yang lama. Dilihat dari sifatnya, menurut Nijstad inovasi dibedakan menjadi dua yaitu technical innovations dan administrative innovations. Technical innovations yaitu inovasi yang berhubungan langsung secara teknis dengan aktivitas organisasi, seperti adanya produk dan jasa baru atau diterapkannya proses baru dalam hal pembuatan produk dan jasa. Sedangkan administrative innovations mencakup perubahan fungsi dari organisasi misalnya adanya kebijakan baru dalam hal penetapan gaji dan tunjangan, perubahan praktik manajemen sumber daya manusia atau adanya struktur baru dalam organisasi.
Inovasi Individual dan Organisasional
Ditinjau dari segi tingkatannya, inovasi dibedakan menjadi dua, yaitu inovasi individual dan organisasional. Pada tingkatan individual, inovasi tersebut muncul dari individu yang menjadi anggota dalam organisasi atau lembaga dalam bentuk ide kreatif tentang sebuah produk, jasa atau prosedur kerja yang lebih bak. Cara-cara baru dalam menyelesaikan sebuah pekerjaan adalah contoh konkrit dari inovasi individual.
Sedangkan inovasi organisasional lebih merupakan inovasi yang sudah dilembagakan menjadi peraturan, kebijakan dan strategi organisasi. Inovasi di bidang public relation untuk membentuk brand image dari lembaga, promosi organisasi, proses kerja, pengembangan karyawan, pemakaian sistem dan prosedur baru di bidang akuntansi atau perampingan dan pengembangan struktur baru adalah contoh inovasi organisasional. Karenanya, inovasi organisasional mempunyai cakupan yang lebih luas dibanding individual.
Dalam praktiknya, inovasi individual dan organisasional menjadi dua kondisi yang saling terkait. Inovasi individual tidak akan berkembang ketika organisasi tidak memberikan keleluasaan kepada anggota yang ada di dalamnya untuk mengekspresikan ide dan kreativitasnya. Sedangkan inovasi organisasional akan efektif ketika anggotanya bersifat inovatif. Kebijakan dan strategi organisasi akan berjalan jika pada tataran mplementasi, anggota memberikan dukungan penuh dan memahami kebijakan dan strategi organisasi yang diterapkan. Hambatan terealisirnya inovasi individual seringkali datang dari organisasi di mana kondisi organisasi tidak memberikan ruang kepada anggotanya untuk berperilaku inovatif. Hambatan tersebut berujud tidak tersedianya fasilitas untuk inovasi, tidak adanya penghargan bagi mereka yang inovatif sampai pada ketidakpedulian pemimpin terhadap inovasi bawahan. Karenanya, inovasi tidak hanya bersifat sepihak melainkan sebuah kondisi yang harus dibangun bersama sehingga menjadi komitmen bersama dalam organisasi untuk mewujudkannya.
Jika organisasi menginginkan perilaku inovatif menjadi nilai-nilai yang menggerakkan seluruh anggota yang ada, maka memerlukan proses sosialisasi perilaku inovatif yang bertujuan memahamkan kepada seluruh anggota yang ada bahwa inovasi menjadi nilai-nilai baru yang berlaku bagi organisasi dan menjadi pedoman berperilaku. Sosialisasi tersebut harus sampai pada tataran penerapan perilaku inovatif pada tingkatan yang paling bawah disertai contoh konkrit dari perilaku tersebut. Hal ini bertujuan untuk menghindari gap persepsi perilaku inovatif yang dirumuskan oleh pemimpin dengan persepsi perilaku inovatif pada tingkatan individual. Perbedaan persepsi tersebut bisa menjadi hambatan terwujudnya perilaku inovatif pada tingkatan individual.
Keteladanan Pemimpin
Ditetapkannya kata inovasi sebagai salah satu di antara lima nilai budaya kerja di Kementerian Agama menandakan betapa pentingnya kata tersebut untuk menjadi nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan menjadi roh dari organisasi yang bernama Kementerian Agama. Penetapan nilai inovasi sebagai budaya kerja tersebut membawa konsekuensi logis bagi para pemimpin di lingkungan Kementerian Agama agar bisa menjadi teladan bagi bawahan yang dipimpinnya. Peran mereka bukan hanya ikut memekikkan secara keras-keras nilai budaya kerja tersebut melainkan lebih pada perilaku inovatif yang bisa dilihat bawahan sebagai perilaku yang patut diteladani. Tanpa hal itu, inovasi hanya akan menjadi kata-kata kosong tanpa makna yang hanya baik didengar namun sulit diimplementasikan.
Karenanya, sebelum menunjukkan perilaku inovatif, seorang pemimpin perlu memahami nilai inovasi dalam konteks organisasi dikaitkan dengan tugas dan fungsi organisasi tempatnya bekerja. Hal tersebut berguna untuk menghindari bias perilaku inovatif dari yang dirumuskan dengan yang diteladankan. Meskipun inovasi menjadi nilai-nilai umum di mana setiap orang akan menyetujui bahwa nilai inovasi diyakini kebenarannya untuk membangun kemajuan sebuah organisasi, namun ketika dikaitkan dalam konteks yang lebih khusus lagi, misalnya organisasi pemerintah, maka pemahaman nilai inovasi memerlukan penyesuaian dengan kondisi organisasi. Sangat dimungkinkan jika dalam konteks organisasi bisnis sebuah terobosan dari sesuatu yang sudah ada akan dianggap sebagai sebuah inovasi namun dalam organisasi pemerintah hal tersebut bisa jadi tidak dianggap sebagai sebuah inovasi karena berbenturan dengan regulasi yang ada. Maka inovasi dalam konteks organisasi pemerintah memerlukan pemahaman terhadap regulasi yang ada agar penerapan nilai inovasi tidak bertentangan dengan regulasinya.
Jika terobosan yang dilakukan pemimpin dianggap sebagai inovasi meski berbenturan dengan regulasi yang ada dengan berdalih bahwa hal tersebut untuk kepentingan orang banyak dan untuk kesejahteraan bersama, maka hal tersebut akan menjadi catatan bagi bawahan bahwa sesuatu yang sedikit melanggar aturan akan bisa dimaklumi jika bertujuan untuk kepentingan bersama. Persepsi yang keliru dari bawahan seperti itu akan menjadi pedoman bagi mereka untuk berperilaku sehingga mereka akan menganggapnya sebagai sebuah inovasi jika melakukan sesuatu yang menguntungkan banyak orang. Kecuali bagi mereka yang telah memahami niai-nilai inovasi dan tidak terpengaruh dengan faktor ekstrinsik di lingkungan kerja. Apapun yang dicontohkan orang lain, termasuk pemimpin, jika hal tersebut mengandung unsur pelanggaran terhadap aturan yang ada, maka mereka tidak akan mengikutinya. Perilaku mereka akan lebih dipengaruhi oleh faktor intrinsik yang ada dalam dirinya dibandingkan faktor ekstrinsik yang bersumber dari lingkungan. Namun relatif sedikit orang-orang yang berperilaku seperti itu. Keberadaan mereka dalam organisasi bahkan seringkali dianggap menjadi eksklusif atau yang lebih buruk lagi dianggap aneh dan menjadi penghalang bagi anggota lain yang mempunyai perbedaan dalam hal nilai-nilai yang dianutnya.
Motivasi dan Penghargaan bagi Inovator
Untuk merangsang tumbuhnya perilaku inovatif di lingkungan kerja diperlukan motivasi bagi pegawai. Motivasi tersebut berupa kebijakan organisasi yang bisa diterapkan agar perilaku inovatif pegawai bisa muncul. Misalnya kebjakan tentang bertambahnya tingkat otonomi pekerjaan, tantangan pekerjaan yang menimbulkan perilaku inovatif dan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang atau adanya jenjang karir yang jelas dari sebuah pekerjaan. Dengan motivasi tersebut diharapkan pegawai tetap berinovasi dalam bekerja meskipun inovasinya berujud hal-hal kecil yang berfungsi untuk perbaikan terhadap prosedur kerja yang kurang efektif.
Di samping itu dibutuhkan penghargaan bagi pegawai yang menunjukkan inovasinya. Penghargaan tersebut berujud pengakuan dari pemimpin dan kenaikan pangkat setingkat lebih tinggi sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2000 yang telah diubah dengan PP Nomor 12 Tahun 2002 tentang kenaikan pangkat PNS. Di dalam pasal 32 disebutkan bahwa pegawai yang mempunyai prestasi kerja yang luar biasa baiknya atau pegawai yang menemukan penemuan baru di bidangnya akan mendapatkan kenaikan pangkat setingkat lebih tinggi. Namun penerapan pasal tersebut relatif jarang dilakukan karena tidak adanya ukuran yang valid untuk menilai prestasi kerja yang luar biasa dari pegawai yang bersangkutan. Selanjutnya untuk menentukan kriteria bahwa karya inovatif yang ditemukan oleh pegawai adalah sebagai penemuan baru juga sulit ditentukan terutama yang berkaitan dengan ide inovatif yang tidak berujud sebuah produk riil.
Karenanya, untuk menerapkan pasal tersebut diperlukan sosialisasi agar terdapat kejelasan dalam menilai adanya prestasi kerja yang luar biasa baiknya pada pegawai atau adanya penemuan baru. Termasuk didalamnya instrumen yang dibutuhkan untuk menilai prestasi kerja yang luar biasa baiknya, standar yang dipakai untuk menilai kinerja yang luar biasa, poin-poin yang termasuk kinerja yang luar biasa baiknya dan kriteria tertentu yang dikatakan sebagai penemuan baru.