Oleh: Aziz Fuadi
Pernahkah Anda melihat teman kerja Anda gagal menangani pekerjaan tertentu namun ia menyatakan bahwa kegagalan tersebut disebabakan oleh fasilitas kantor yang tak mendukung? Mungkin Anda juga pernah melihat teman Anda gagal menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, selanjutnya ia menyatakan bahwa kegagalan tersebut terjadi akibat waktunya yang sangat pendek. Peristiwa tersebut adalah contoh bahwa teman tersebut menerapkan manajemen kesan. Benar atau tidak apa yang ia nyatakan; apakah kegagalan tersebut bersumber dari fasilitas kantor yang tak mendukung ataukah dari faktor lain; yang jelas ia ingin menampilkan kesan postif dari orang lain terhadap dirinya.
Secara naluriah, individu mempunyai kecenderungan agar orang lain mempunyai kesan positif terhadap dirinya. Karenanya, ia berusaha agar kesan positif tersebut senantiasa ada pada orang lain.. Kesan tersebut sengaja ia ciptakan dengan berbagai motif yang ada pada individu tersebut. Mereka yang bermotif sosial akan memandang bahwa kesan positif dari orang lain akan diperlukan untuk menjaga dan meningkatkan kualitas hubungan sosial. Individu akan semakin dipercaya oleh orang lain ketika ada kesan positif padanya. Sebaliknya, kesan negatif dari orang akan membuat individu tak dipercaya orang lain sehingga berdampak pada menurunnya kualitas hubungan sosial.
Mereka yang bermotif ekonomi akan menganggap bahwa kesan positif dari orang lain akan mendatangkan nilai finansial pada saat ini atau di masa mendatang. Kesan positif akan menjadi semacam modal yang bisa mendatangkan keuntungan yang bersifat materi. Seorang penjual sebuah produk atau customer service sebuah bank akan selalu menampilkan kesan positif agar produknya terjual atau jasanya dipakai customer. Maka kesan posiitif yang ditampilkan bermotif ekonomi.
Bagi mereka yang mempunyai motif kekuasaan, kesan positif diharapkan mendatangkan keuntungan berupa teraihnya kekuasaan, jabatan, kariir atau posisi yang lebih baik dibanding saat ini. Maka kesan positif pun ditampilkan. Banyaknya politisi yang menampilkan citra positif menjelang pemilihan umum (pemilu) baik pemilihan anggota DPR, presiden atau pilkada menandakan adanya motif kekuasaan yang melekat padanya.
Mereka yang tak bermotif, atau lebih cenderung dikatakan mempunyai motif berbuat baik, adanya kesan positif lebih dipandang sebagai hasil dari perilakunya setiap hari. Kesan positif adalah sebagai efek sedangkan esensinya adalah perbuatan baik yang sesuai dengan ajaran agama, norma kesopanan norma hukum atau nilai-nilai yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat. Maka untuk golongan terakhir ini mereka tidak perlu melakukan manajemen kesan karena perilakunya tentunya akan menimbulkan kesan positif dari orang lain. Jika dikaitkan dalam lingkungan kerja, maka kelompok terakhir ini adalah mereka yang bekerja sesuai dengan pertauran dan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dalam sikap dan perilakunya setiap hari. Tanpa manajemen kesan pun mereka akan mendapatkan kesan positif dari orang lain.
Dalam lingkungan kerja, manajemen kesan seringkali dilakukan pegawai. Mereka menerapkan beberapa strategi untuk mendapatkan kesan yang positif dari atasan. Strategi yang mereka terapkan biasanya terdiri dari dua yaitu strategi meminimalkan tanggung jawab dan memaksimalkan tanggung jawab.
Strategi meminimalkan tanggung jawab dipakai jika pegawai ingin melepaskan tanggung jawab atau menghindari tanggung jawab dari kejadian negatif yang berhubungan dengan pekerjaannya. Dengan strategi tersebut pegawai akan terkesan positif di hadapan pemimpinnya. Menggunakan alasan bahwa pekerjaan yang tidak selesai tepat waktu karena sedang tidak enak badan atau ada pekerjaan lain yang lebih penting adalah salah satu cara yang dipakai. Selain itu, permintaan maaf atas kegagalan dalam menyelesaiakn pekerjaan juga biasa dilakukan pegawai. Permintaan maaf akan memberikan kesan bahwa ia menyesal dan tak akan mengulangi perbuatannya lagi. Cara lain yang dipakai dalam meminimalkan tanggung jawab adalah dengan disasosiasi. Jika pegawai berada dalam sebuah kelompok di mana visinya sangat berbeda dengan visi atasannya, maka secera diam-diam ia akan menyampaikan pada atasannya bahwa sebenarnya ia tak sependapat dengan kelompok tersebut dan keberadaannya di dalam kelompok tak bisa ia tolak.
Strategi lain yang diapakai pegawai dalam manajemen kesan adalah memaksimalkan tanggung jawab. Cara yang dipakai untuk strategi ini diantaranya menunjukkan kinerja yang positif di hadapan atasan atau orang-orang yang dianggap mempunyai jabatan yang strategis. Selanjutnya ia menyampaikan ide yang cemerlang kepada atasannya sehingga mengesankan bahwa ia memang pegawai yang handal dan kinerjanya di atas rata-rata pegawai lainnya. Namun ada pula yang memilih cara lain yaitu mengungkapkan keberhasilannya kepada atasan bahwa dengan hambatan pekerjaan yang begitu banyak, ia mampu menanganinya atau menyelesaikan pekerjaan sehingga mengesankan bahwa ia memang benar-benar pegawai yang terampil dan tangguh. Menunjukkan pekerjaan tertentu di saat yang tepat juga sebagai cara yang dipakai pegawai dalam manajemen kesan.
Strategi manajemen kesan juga diterapkan oleh pemimpin agar terbentuk kesan positif sehingga ia akan dianggap mampu menduduki level pemimpin yang lebih tinggi. Jika ia telah menduduki level pemimpin yang paling tinggi, kesan positif tersebut paling tidak mampu melanggengkan kekuasaan yang telah dipegang saat ini atau ia akan terpilih lagi sebagai pemimpin di masa mendatang.
Menerapkan manajemen kesan sah-sah saja sepanjang hal tersebut dilakukan untuk kepentingan lembaga, organisasi atau masyarakat. Meskipun di dalamnya selalu saja ada kepentingan yang bersifat pribadi, namun jangan sampai hal tersebut mengalahkan kepentingan yang lebih besar. Ketika kepentingan pribadi yang menonjol, maka kesan positif tersebut akan tampak bersifat transaksional sehingga bisa jadi usaha untuk menampilkan kesan positif akan terhenti saat kepentingan pribadinya telah tercapai.
Idealnya, tanpa manajemen kesan seseorang bisa menampilkan kesan yang positif. Kesan positif tersebut adalah wujud dari sikap dan perilakunya yang memang positif, tanpa adanya rekayasa. Karenanya, berbuat jujur lebih baik daripada harus memaksakan diri untuk menampilkan kesan yang positif. Jika saat ini perilaku positif kita masih diiringi dengan manajamen kesan, maka perlu usaha yang tanpa henti untuk mencapai tataran ideal dari sebuah perilaku.