Oleh: Wikaning Tri Dadari
Menjalani hidup sebagai orang Jawa, banyak falsafah yang dapat saya pedomani untuk mendorong empati dan menerima kehidupan dengan lapang dada. Banyak filosofi Jawa yang hadir dengan memadukan kebijaksanaan kuno dan keharmonisan jiwa, mengedepankan pembelajaran sepanjang hidup sebagai kunci untuk memperkaya diri dan lingkungan.
Ojo adigang, adigung, adiguna. Salah satu pepatah yang menasihati saya untuk tetap rendah hati dengan segala yang saya punya. Adigang diartikan sebagai orang yang memiliki kekuatan dan kekuasaan. Adigung adalah orang yang membanggakan harta, keturunan, dan keagungan lainnya. Sedangkan adiguna adalah orang yang membanggakan kepintaran dan kecerdasannya.
Menjadi pintar tidak boleh membuat diri merasa lebih tinggi dari orang lain. Memiliki harta dan kemuliaan tidak lantas menjadikan diri sombong dan angkuh. Memegang kendali di masyarakat tidak boleh menyebabkan diri berkuasa menindas orang lain. Sebaliknya, kecerdasan harus membawa diri menjadi lebih bijak. Harta dan kemuliaan seyogyanya membawa diri lebih dermawan. Dan kekuasaan seharusnya dapat membawa diri untuk menjadi lebih adil. Pada akhirnya, nasihat dari pepatah ini adalah bahwa segala kelebihan yang kita punya harus menjadi sarana untuk menebar manfaat bagi sesama makhluk.
Memayu hayuning bawana. Sebuah nilai luhur lain yang membawa saya semakin menghayati apa yang saya lakukan terhadap hidup dan alam. Secara filosofis, bawana adalah dunia seisinya. Bawana juga dipandang sebagai “ladang” yang boleh ditanami dan buahnya akan dipanen setelah manusia mati. Memayu berarti memperindah, sedangkan hayuning diartikan sebagai kecantikan. Secara harfiah, memayu hayuning bawana berarti memperindah kecantikan dunia. Namun lebih dari itu, pepatah ini menjadi upaya melindungi keselamatan dunia secara lahir maupun batin.
Secara konkrit, manusia harus memelihara dan memperbaiki lingkungan fisiknya. Mengelola alam dengan bijak dan tidak merusak apa yang ada di dalamnya. Di lain sisi, secara abstrak, manusia juga harus memelihara dan memperbaiki lingkungan spiritualnya. Hidup dalam bawana hendaknya mengendapkan nafsu agar lebih terkendali sehingga dunia semakin tertata. Pada akhirnya, proses ini akan mencapai kedamaian dunia yang dimaksudkan sebagai hayu. Suasana itulah yang oleh orang Jawa disandikan dalam ungkapan memayu hayuning bawana.
Terakhir, satu lagi dari sekian banyak pepatah Jawa yang ingin saya bagikan dalam tulisan ini, yakni urip iku urup, bahwa hidup itu menyala. Pepatah ini mengajarkan saya tentang bagaimana seharusnya manusia menjalani hidupnya. Pepatah ini menjawab pertanyaan saya tentang mengapa manusia dipercaya Tuhan untuk hidup dalam semesta.
Hidup bukan untuk berdiri sendiri atau berkuasa untuk diri sendiri, melainkan untuk saling memberi dan membantu sesama tanpa pamrih. Ibarat api, urup berarti dapat memberi terang dan hangat. Bukan untuk membakar dan membinasakan. Manusia hidup hendaknya memberi manfaat, bukan meresahkan. Bagi saya, memberi manfaat tidak harus secara kompleks, sesederhana menjalankan peran masing-masing. Saya yakin, Tuhan mempercayai saya hidup menjadi ASN agar dapat memberi manfaat pada masyarakat. Artinya saya harus menjalankan peran ASN sebaik mungkin. Saya harus bijaksana dalam melaksanakan kebijakan publik, profesional dalam melayani, dan memberi kontribusi untuk mempererat persatuan bangsa.
Akhirnya, yang selalu ditanyakan pada diri, sebesar apa nyalaku kini?