Oleh: Aziz Fuadi
Setiap organisasi apapun bentuknya, organisasi bisnis, publik atau organisasi sosial selalu dikomando oleh seorang pemimpin. Fungsi pemimpin adalah mengelola organisasi agar mampu mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam praktiknya ia akan dihadapkan dengan tugas mempengaruhi anggota yang ada agar dengan rela mengikuti, tunduk dan selaras dengan tujuan organisasi. Namun tidak selamanya, kondisi ideal tersebut akan tercipta. Bisa jadi organisasi memang secara riil ada, anggota yang ada di dalamnya bekerja sesuai dengan tugas dan tanggung jwabnya masing-masing, namun keberadaan seorang pemimpin tak dirasakan oleh pegawai yang ada. Secara fisik, seorang pemimpin memang berada di tempat kerja, namun ia tak mampu menjalankan fungsinya fungsinya secara optimal. Maka bisa dikatakan ada dan tidak adanya pemimpin, tidak bedanya, sehingga organisasi ibarat tanpa pemimpin atau pemimin yang hilang.
Fenomena pemimpin yang hilang seringkali muncul seiring dengan semakin kompleksnya masalah yang dihadapi pemimpin dan semakin mandiri serta profesionalnya seorang pegawai. Tingginya intensitas masalah yang dihadapi membuat pemimpin tak menyadari fungsinya. Apalagi masalah tersebut menyangkut masalah yang sebenarnya tak terkait dengan tugas dan fungsinya. Di sisi lain, Komitmen yang tinggi dari seorang pegawai juga mendorong kemandirian pegawai sehingga tidak adanya kehadiran pemimpin tak akan memberikan pengaruh nyata. Namun idealnya pemimpin harus selalu ada dan bersama-sama dalam membangun organisasi. Mereka harus hadir apalagi para bawahannya sedang menghadapi masalah yang berhubungan dengan pekerjaan. Beberapa tanda-tanda berikut menunjukkan fenomena hilangnya seorang pemimpin dalam organisasi.
Pemimpin bukan menjadi Sosok Pendamai
Seorang pemimpin yang ideal akan menjadi sosok yang membuat tenteram para bawahannya bukan justeru menjadi sumber dari munculnya masalah baru. Ketika terjadi konflik apakah itu konflik interpersonal ataupun konflik tugas yang dialami pegawai, ia mampu berperan sebagai pengambil solusi dan mampu memberikan rasa keadilan pada pegawai. Ketika solusi yang diambil tidak mencerminkan rasa keadilan atau adanya unsur keberpihakan pada sebagian pegawai yang berkonflik, hal tersebut akan menjadi preseden buruk bagi munculnya gap antar pegawai. Pada saat yang bersamaan terjadi penurunan tingkat kepercayaan pada pemimpin. Yang lebih parah lagi jika ternyata pemimpin justeru sebagai sumber dari masalah.
Rendahnya Motivasi sebagai Pemimpin
Motivasi menjadi unsur penting dalam membentuk kinerja individu, tak terkecuali sebagai pemimpin. Rendahnya motivasi pada pemimpin akan berakibat terbengkelainya tugas dan fungsi yang seharusnya ia pikul. Akibatnya, terdapat kekosongan peran dari pemimpin. Tugas-tugas yang bersifat manajerial dan membutuhkan pengambilan keputusan pada akhirnya harus tertunda. Gaya permissif begitu jelas terlihat pada pemimpin yang dilanda kehilangan motivasi kerja. Ia lebih membiarkan pekerjaan berjalan apa adanya tanpa adanya usaha dan kreativitas untuk menangnainya.
Kepentingan Pribadi yang Begitu Menonjol
Pemimpin berfungsi sebagai fasilitator sekaligus pusat komando dari anggota organisasi. Karenanya, ketika berada dalam organisasi, komitmen organisasional dari pemimpin diharapkan lebih menonjol dibandingkan dengan para bawahan. Idealnya ia akan mengutamakan kepentingan organisasi dibandingkan dengan kepentingan pribadi. Celakanya, tidak semua pemimpin menyadarinya. Mereka yang cenderung lebih memikirkan kepentingan pribadi akan menerapkan kebijakan yang mempunyai tendensi pribadi atau paling tidak ada nuansa individual di dalamnya. Akhirnya organisasi akan menjadi kendaraan dalam merealisasikan tujuan yang bersifat pribadi. Konflik antar pemimpin atau antara pemimpin dengan bawahan akan menjadi pemandangan yang terlihat sehari-hari. Mereka akan disibukkan dengan perbedaan pandangan karena masing-masing mempunyai agenda yang berbeda sehingga melupakan tujuan awal dari organisasi.
Kurangnya Ketegasan Pemimpin
Keputusan dari pemimpin ibarat sebuah aturan yang harus disepakati oleh semua anggota organisasi. Ia mendapatkan legitimasi sebagai pengambil keputusan. Apapun bentuknya, sebuah keputusan yang bersumber dari pemimpin akan mempunyai kekuatan memaksa anggota yang ada. Ketika terjadi usaha yang berbentuk sikap, perilaku bahkan tindakan dari anggota ia berhak untuk menegur dan meluruskannya. Kekuatan memaksa dari pemimpin tak akan menjadi kekuatan yang diikuti dan patuhi oleh bawahan ketika sikap dan perilaku pemimpin justeru berseberangan dengan keputusannya. Maka kondisi yang membingungkan akan tampak terlihat. Akhirnya timbul beberapa persepsi dari bawahan tentang keputusan yang sebenarnya . Bawahan akan memaknai keputusan tersebut sesuai dengan pemahaman masing-masing. Bahkan timbul sikap dan perilaku bawahan yang melegitimasi diri sendiri karena mereka menganggap bahwa keutusan dari pemimpin mengiisyaratkan adanya kebebasan bawahan dalam bertindak. Karenanya, ketegasan dari pemimpin sangat diperlukan ketika ia mengambil sebuah keputusan. Keputusan tersebut perlu didukung dengan sikap dan perilaku yang selaras dengan keputusan yang diambil.
Kewenangan Bawahan yang Berlebih
Tiap pegawai mempunyai wewenang sesuai dengan tugas dan fungsinya. Di luar itu, ia tidak mempunyai wewenang dalam mengambil keputusan. Namun dalam kenyataannya terkadang terdapat pegawai dengan kewenangan yang berlebih. Kondisi tersebut muncul karena adanya celah kewenangan dari seorang pemimpin. Pemimpin yang terlihat lemah di mata bawahan biasanya menimbulkan celah yang dimasuki oleh bawahannya. Bawahan bisa ikut ambll bagian dalam memutuskan sesuatu meskipun legalitasnya belum diakui. Pemanfaatan celah kewenangan tersebut membuat kondisi yang tidak sehat dalam organisasi. Perbedaan persepsi yang timbul pada bawahan menimbulkan kebingungan bahwa konflik interpersonal yang sangat merugikan organisasi. Jika kondisi tersebut berlanjut terus dan telah menjadi budaya yang melekat dalam organisasi, maka fenomena hilangnya seorang pemimpin.