Oleh: Aziz Fuadi
Dalam sebuah wawancara saya pernah ditanya oleh pewawancara, “pilih mana antara loyalitas dengan integritas?” Pertanyaan tersebut terkesan benar, karena kebanyakan orang memandang bahwa loyalitas berlawanan dengan integritas (kejujuran). Jika berpegang pada loyalitas biasanya orang akan mengesampingkan integritas, begitu pula sebaliknya.
Mengapa demikian? Loyalitas yang biasanya diartikan identik dengan kesetiaan pada seseorang dalam hal ini kepada seorang pemimpin. Maka pegawai yang dikatakan mempunyai loyalitas jika ia setia pada pemimpin meskipun pemimpin tersebut berbuat kurang benar. Pada titik tersebut akhirnya loyalitas bertentangan dengan integritas karena integritas menyangkut masalah “apa adanya”, tanpa rekayasa, , sedangkan loyalitas pada pemimpin yang terkait erat visi dan misi seseorang ada kalanya berseberangan dengan integritas. Seorang pemimpin yang lebih mengutamakan visi pribadi dibandingkan visi oragnisasi selalu berbicara masalah “ada apanya” atau tendensi dari seseorang. Adanya tendensi tersebut biasanya akan mengesampingkan integritas.
Karena itulah maka banyak orang beranggapan bahwa loyalitas dan intergitas menjadi sesuatu yang tak bisa menyatu. Bahkan anggapan tersebut masih populer hingga saat ini. Hal tersebut muncul karena banyaknya malparaktik dalam kepemimpinan. Orang berpikir bahwa seorang pemimpin akan menghadapi hal-hal teknis di luar prosedur yang harus ia lakukan sehingga akan mengorbankan integritas.
Bukakah anggapan tersebut sarat dengan pikiran negatif atau prasangka tentang kepemimpinan? Banyaknya orang yang berpikiran/memproyeksikan bahwa seorang pemimpin akan selalu menghadapi malpraktik, pada akhirnya terjadi juga dalam kehidupan nyata. Hukum proyeksi (law of projection) benar-benar menjadi sebuah realita. Proyeksi negatif dari banyak orang tentang kepemimpinan selanjutnya menimbulkan banyaknya malpraktik kepemimpinan.
Celakanya, perilaku kepemimpinan tersebut dibuat untuk menggeneralisir bahwa yang dinamakan pemimpin selalu terkait dengan tindakan unprosedural yang mengorbankan integritas. Jika hal itu menjadi sebuah budaya, kapan integritas total akan muncul menjadi budaya organisasi?
Pertanyaan yang terlontar dari seseorang sebenarnya sah-sah saja karena sebuah pertanyaan tentunya akan disesuaikan dengan cara pandang orang tersebut terhadap suatu hal. Jika orang menanyakan tentang loyalitas dan integritas yang selalu berbenturan, hal itu terjadi karena cara pandang loyalitas yang lebih bersifat khusus, yaitu loyalitas yang dimaknai sebagai sebagai ujud kesetiaan orang terhadap orang lain, apakah itu teman, pemimpin, ahli agama atau orang yang dikagumi. Namun ketika pertanyaan tersebut dilontarkan kepada anggota organisasi, maka konteks loyalitas tersebut tidak lagi bersifat personal, namun lebih bersifat organisasional.
Loyalitas yang Sebenarnya
Membahas tentang loyalitas dalam sebuah lembaga sebenarnya tak lepas dari apa tujuan dari lembaga tersebut didirikan. Dikatakan sebagai pegawai yang loyal adalah mereka yang sepenuh hati setia untuk merealiisasikan tujuan lembaga, bukan pada perseorangan meskipun itu seorang pemimpin. Jika loyalitasnya tertuju pada seorang pemimpin, maka ketika pemimpin bertindak kurang benar atau adanya malpraktik karena ingin mengejar ambisinya, maka loyalitas pegawai akan menjadi loyalitas yang salah arah. Namun ketika loyalitas seorang pegawai adalah pada lembaga, maka ia akan setia untuk mencapai tujuan lembaga. Tujuan lembaga adalah sesuatu yang netral sehingga akan menjadi tidak netral jika ada person yang menjalankannya. Jika personnya kebetulan baik dan berpegang pada aturan yang ada, maka lembaga akan menjadi baik dan tujuan pun akan tercapai. Begitu juga sebaliknya.
Dalam konteks organisasi, loyalitas seorang pegawai akan memunculkan isitlah organizational loyalty atau loyalitas kelembagaan yang bercirikan perilaku anggota organisasi yang mmentingkan tujuan organisasi dibandingkan tujuan yang bersifat individual. Semua anggota yang ada pada semua level akan memandang kepentingan organisasi lebih diutamakan dibandingkan kepentingan individu. Pegawai dengan loyalitas tinggi akan bertanggung jawab pada profesinya atau tugas dan fungsinya. Pada titik inilah loyalitas tak akan berseberangan dengan integritas, sehingga pertanyaan “pilih mana antara loyalitas dengan integritas?” menjadi tidak relevan lagi.
Anggota yang loyalitasnya tinggi pada lembaga akan bisa menerapkan integritas. Sedangkan penerapan integritas sendiri akan berdampak pada kemajuan organisasi sehingga organisasi mampu mencapai tujuannya. Anggota pun leluasa menerapkan integritas karena adanya dukungan lingkungan. Perasaan aneh atau sungkan jika menerapkan integritas tidak akan muncul lagi pada diri anggota. Pada akhirnya integritas benar-benar menjadi sebuah budaya dalam organisasi (organizational culture/corporate culture), bukan hanya sekedar menjadi semboyan yang sering dipekikkan.
Prasangka Positif Tentang Kepemimpinan
Agar kejadian di lingkungan nyata adalah sesuatu yang positif, maka energi positif dari anggota organisasi perlu dipancarkan dengan berpikiran bahwa pemimpin yang ideal tidak akan melakukan malpraktik kepemimpinan. Anggapan bahwa selalu akan ada malpraktik dalam kepemimpinan sudah sepantasnya mulai dihilangkan, diganti dengan harapan munculnya pemimpin yang benar-benar berintegritas dan loyalitasnya tinggi.
Ingatlah bahwa law of projection terjadi karena adanya energi yang terpancar dari manusia akan terjadinya sesuatu di masa mendatang atau adanya harapan dan impian ingin terjadinya sesuatu di masa mendatang. Karenanya, ketika berharap atau berprasangka diminta untuk berprasangka yang positif. Bahkan ajaran tersebut tertulis sebagai ajaran Islam. Dalam Hadits Qudsi yang diriwayatkan Turmudzi menjelaskan bahwa Allah sesuai dengan persangkaan hambaNya.
Cara berpikir yang selalu menabrakkan antara loyalitas dengan integritas mulai diubah berganti dengan berpandangan bahwa loyalitas dan integritas bisa berjalan seiring.Sudut pandang tentang kepemimpinan dimulai dari sudut pandang yang positif. Loyalitas tidak lagi dikaitkan dengan segala sesuatu yang bersifat tidak fair, sembunyi-sembunyi dan sikap mengabdi pada perseorangan melainkan berganti dengan sikap setia pada lembaga. Akhirnya lembaga akan berubah menjadi lembaga yang selalu tumbuh, maju, meningkat kualitas dan tetap survive dalam menghadapi tantangan masa kini dan masa mendatang.