Oleh: Aziz Fuadi
Kita telah mendengar istilah modal yang dikaitkan dengan potensi manusia seperti intellectual capital (modal intelektual), social capital (modal sosial), atau human capital (modal manusia). Namun sejak tahun 2007 muncul istilah baru yang dicetuskan oleh Luthans, Youssef dan Avolio yaitu “psychological capital” (modal psikologis). Istilah tersebut dibuat oleh pencetusnya karena mereka memandang bahwa unsur psikologis tersebut melekat pada manusia dan menjadi faktor dasar bagi meningkatnya kinerja individu dan organisasi.
Mereka pun percaya bahwa modal psikologis mempunyai dampak yang lebih hebat bagi meningkatnya kinerja organisasi dibandingkan modal yang berupa aset, teknologi, penguasaan informasi dan modal lain yang bisa diukur secara finansial. Maka organisasi dengan modal psikologis yang bermutu akan mempunyai keunggulan kompetitif dibandingkan dengan pesaingnya. Keunggulan kompetitif yang berujud modal psikologis akan bisa diperbarui dan berjangka panjang sehingga organisasi dapat mengembangkannya agar menerima dampak positifnya.
Karenanya, mengoptimalkan modal psikologis pada sumber daya manusia (SDM) menjadi pendekatan baru yang lebih bernuansa positif. Saat ini menurut mereka organisasi telah menggunakan pendekatan negatif dalam memenangkan persaingan. Adanya pemaksaan terhadap SDM untuk bertalenta unggul, mempunyai skill dan kompetensi yang tinggi serta memberangus SDM yang berkompetensi rendah merupakan bukti nyata bahwa organisasi telah menerapkan pendekatan negatif yang cenderung mengesampingkan potensi dasar manusia. Menurut Luthans, Youssef dan Avolio (2007) modal psikologis tersebut terdiri dari self efficacy, hope, optimism dan resiliency.
Self Efficacy (Keyakinan Diri terhadap Keberhasilan)
Self efficacy merupakan keyakinan terhadap kemampuan diri dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab yang dibebankan pada diri seseorang. Self efficacy akan menjadi energi potensial yang bisa menggerakkan seseorang untuk berhasil. Munculnya self efficacy tersebut didasarkan pada estimasi pada diri seseorang bahwa ia akan sukses di masa mendatang. Biasanya estimasi tersebut dilandasi dengan pengalaman positif di masa lalu. Maka pengalaman positif akan memperkuat munculnya self efficacy. Sebaliknya, pengalaman negatif akan menghambat munculnya self efficacy. Di samping itu, munculnya self efficacy juga dipengaruhi oleh faktor lain seperti, pengetahuan dan kerampilan. Semakin tinggi pengetahuan dan keterampilan seseorang maka semakin besar kemungkinan timbulnya self efficacy.
Seseorang yang mempunyai self efficacy yang tinggi dapat dilihat dari sikap dan perilakunya sehari-hari. Biasanya mereka adalah termasuk orang-orang yang terbiasa dan fokus pada tugas-tugas yang sulit. Tugas yang sulit akan dianggap sebagai tantangan yang harus ditaklukkan. Maka mereka juga termasuk orang yang menyukai tantangan dan adanya usaha ekstra untuk menaklukkan tantangan tersebut. Dalam keseharian anda akan mendapatkan bahwa orang yang mempunyai self efficacy tinggi akan terlihat lebih termotivasi dibandingkan dengan mereka yang kurang mempunyai self efficacy. Mereka adalah orang-orang yang gigih dan tidak akan menyerah sebelum bisa menyelesaikan kesulitan yang dihadapi.
Hope (Harapan)
Harapan menunjukkan sebuah keinginan akan adanya kondisi atau kejadian yang baik di masa yang akan datang. Seseorang yang mempunyai harapan menandakan ia mempunyai visi ke depan sehingga akan mempengaruhi perilakunya dalam bekerja. Adanya harapan akan menggerakkan seseorang untuk merealisasikan harapannya. Bahkan menurut Luthans, Youssef dan Avolio (2007) harapan berhubungan erat dengan tingkat kinerja seseorang dan kinerja organisasi, sehingga semakin tinggi tingkat harapan dari individu maka semakin tinggi pula kinerja yang akan dihasilkan.
Optimism (Optimisme)
Optimisme merupakan keyakinan dari seseorang bahwa kejadian di masa yang akan datang akan bernilai positif dan menyenangkan. Menurut Luthans, Youssef dan Avolio (2007), optimisme tidak hanya menyangkut prediksi tentang kondisi yang menyenangkan di masa mendatang namun juga berkaitan dengan penjelasan dari seseorang yang menunjukkan adanya sikap optimis tersebut. Misalnya jika seseorang optimis tentang kondisi di masa mendatang, namun tidak disertai dengan usaha dan perilaku positif yang menunjukkan ia optimis, maka sebenarnya ia pesimis terhdap kondisi mendatang. Maka sikap optimis dari seseorang akan terlihat dari keyakinan, disertai sikap dan perilakunya yang positif terhadap masa yang akan datang.
Reseliency (Bangkit dari Kegagalan)
Resiliency dapat diartikan sebagai sikap yang mudah pulih dan bangkit dari kegagalan. Ketika tertimpa kegagalan, biasanya orang akan bereaksi atas kejadian tersebut. Reaksi tersebut tergantung dari persepsi dan pandangan seseorang tentang kegagalan. Bagi orang yang berpikiran positif, kegagalan akan dipandang sebagai proses dari rangkaian proses keberhasilan. Mereka memandangnya sebagai peristiwa yang akan membentuknya menjadi orang yang matang karena telah mendapatkan pengalaman dalam menghadapi kegagalan. Namun bagi mereka yang berpikiran negatif, kegagalan akan dianggap sebagai sebuah kejadian buruk dan akhir sebuah perjalanan. Sikap mudah pulih dan bangkit tersebut menunjukkan ketahanannya dalam menghadapi kondisi sosial psikologis di lingkungannya dan menandakan motivasinya yang tinggi untuk mencapai keadaan yang lebih baik. Sikap tersebut menjadi modal yang penting karena pegawai yang ada dalam sebuah organisasi akan selalu dihadapkan pada permasalahan yang kompleks sesuai dengan dinamika yang ada dalam organisasi.
Mengelola Psychological Capital
Psychological capital hanya akan menjadi modal yang menguntungkan bagi organisasi ketika organisasi mengelolanya. Tanpa pengelolaan yang baik, modal psikologis hanya akan menjadi modal yang pasif sehingga pengaruhnya tak akan dirasakan organisasi. Karenanya, menjadi kewajiban bagi pemimpin yang ada untuk mengelolanya agar modal psikologis pada pegawainya mampu meningkatkan daya saing organisasi. Bentuk-bentuk pengelolaan modal psikologis penulis uraikan sebagai berikut.
Pengelolaan Tujuan Individu. Organisasi terdiri dari sekumpulan individu yang bekerja sama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Maka pada tiap pegawai mempunyai tujuan yang bersifat individual yang akan mereka capai. Dengan bergabung dalam organiasasi mereka berharap akan tercapai tujuan dan misi yang bersifat pribadi. Namun di sisi lain ada sebuah kewajiban yang perlu mereka penuhi, yaitu mewujudkan tujuan organisasi. Karenanya, pengelolaan tujuan organisasi diharapkan memberikan dampak domino, di mana pencapaiannya sekaligus mampu merealisasikan tujuan dan kebutuhan yang bersifat individual dari pegawai. Dengan terwujudnya tujuan individual, maka organisasi telah memberi dasar tumbuhnya self efficacy, hope, optimism dan resiliency.
Meningkatkan Keterlibatan Pegawai dalam Aktivitas Organisasi. Bagi sebagian besar individu, keterlibatannya dalam aktivitas organisasi akan dianggap sebagai bentuk penghargaan terhadap kompetensi pegawai; meskipun bagi mereka yang malas keterlibatan akan dipandang sebagai sebuah beban. Melibatkan pegawai akan menunjukkan tingginya tingkat kepercayaan organisasi terhadap pegawai sehingga akan menimbulkan harapan dan optimisme pegawai. Bagi mereka, organisasi akan dipandang sebagai lembaga yang mampu menampung harapannya di masa mendatang. Keterlibatan yang tinggi dari pegawai bukan berarti akan mengurangi fungsi kepemimpinan dari seorang pemimpin, namun justeru lebih memberdayakan pegawai sesuai dengan kemampuan optimal yang bisa mereka berikan. Mereka akan merasa berada dalam sebuah unit sosial di mana keberadaannya sangat berarti bagi orang lain dan organisasi. Perasaan nyaman dalam bekerja akan muncul seiring dengan tingkat keterlibatannya dalam organisasi. Peningkatan keterlibatan pegawai perlu memperhatikan unsur keadilan sehingga organisasi tidak hanya memberdayakan pegawai tertentu atau mereka yang dinilai handal dalam bekerja. Pegawai dilibatkan sesuai dengan kapasitas yang dimiliki dengan tetap memperhatikan kompetensi dan tanggung jawabnya. Hal tersebut bukan berkonotasi eksploitasi pegawai karena dalam pelaksanaannya perlu memperhatikan jam kerja dan beban kerja dari pegawai.
Sistem Reward yang Adil. Reward dan punishment sebagai mekanisme yang adil untuk memperlakukan pegawai pada sebuah organisasi. Dengan mekanisme tersebut, pegawai yang mempunyai kinerja yang tinggi akan memperoleh reward (penghargaan) yang berujud finansial maupun non finansial. Sedangkan pegawai yang menunjukkan kinerjanya di bawah standar, kurang disiplin atau menunjukkan perilaku yang kontra produktif terhadap organisasi akan mendapatkan saksi (punishment) sesuai dengan tingkat kinerja dan kesalahan yang mungkin dilakukan. Dalam praktiknya, reward akan mampu mendorong pegawai untuk berperilaku produktif karena adanya kepastian dan jaminan dari organisasi atas kompensasi yang akan mereka terima.
Pemimpin Mampu Bertindak sebagai Konselor. Pada organisasi bisnis dengan jumlah pegawai yang relatif banyak, biasanya disediakan bagian yang menangani konsultasi pegawai. Bagian tersebut berfungsi untuk mengatasi masalah yang dihadapi pegawai yang berhubungan dengan pekerjaannya setiap hari. Masalah tersebut meliputi masalah hakikat dari pekerjaan yang ditangani dan hubungan sosial dengan teman sekerja seperti membahas tentang kompetensi pegawai, beban kerja, kepuasan, stress, konflik interpersonal atau masalah-masalah lain yang berkaitan dengan tugas dan fungsi pegawai. Namun jika bagian tersebut tidak ada, maka pemimpin harus mampu bertindak sebagai konselor. Ia perlu mengatahui teknik-teknik konselor, problem solving dan kemampuan menyelesaikan masalah yang dihadapi pegawai. Tanpa hal itu, pegawai akan merasa bahwa mereka berada pada tempat yang salah karena ketika ada permasalahan, pemimpin yang ada tak mampu menanganinya. Akhirnya, modal psikologis yang pada awalnya berada pada pegawai tak akan berkembang menjadi modal yang benar-benar menghasilkan kinerja yang tinggi, namun hanya sebatas modal pasif di mana ada atau tidaknya tak akan memberikan dampak nyata bagi organisasi.
Budaya Organisasi yang Kuat. Budaya akan menjadi nilai-nilai yang diyakini kebenarannya untuk menopang keberhasilan organisasi. Budaya yang kuat akan mampu menggerakkan anggota organisasi untuk mematuhi sistem nilai yang ada. Biasanya budaya yang kuat akan sangat mempengaruhi anggota dalam bersikap dan berperilaku. Bahkan mampu membentuk komitmen anggota untuk loyal pada organisasi. Maka organisasi dengan budaya yang kuat akan menciptakan keyakinan anggota bahwa organisasi tempat mereka bekerja dapat dijadikan harapan untuk masa depan mereka. Namun ketika budaya yang ada justeru tidak bersumber dari nilai-nilai kebaikan, atau tidak adanya kesepakatan dari anggota atas nilai-nilai yang diterapkan dalam organisasi, maka hal tersebut menunjukkan lemahnya budaya organisasi. Karenanya, budaya tersebut tak mampu menjamin anggota yang ada di dalamnya untuk yakin terhadap organisasi. Mereka akan meragukan budaya yang ada karena nilai-nilainya tidak dapat dijadikan panduan untuk bertindak dan berperilaku atau terdapat kekaburan nilai di dalamnya. Anggota akan berperilaku sesuai dengan persepsi mereka terhadap budaya yang ada, atau mereka berperilaku sesuai dengan sistem nilai yang dianut dan diyakini kebenarannya secara individual. Akhirnya anggota tidak mempercayai bahwa organisasi akan bisa memenuhi harapan mereka. Maka modal psikologis dari anggota tak akan muncul sebagai bentuk kekuatan yang membawa keberhasilan organisasi.
DAFTAR PUSTAKA
Luthans, Fred., Youssef, Carolyn M., and Avolio, Bruce J., (2007). Psychological Capital. London. Oxford University Press.