Oleh: Aziz Fuadi
Ingatkah Anda dengan syair lagu lama: “…uang bisa bikin orang, senang tiada kepalang, uang bikin mabuk kepayang...”. Ternyata syair tersebut masih relevan hingga saat ini. Relatif banyak pegawai yang menempatkan uang sebagai motivator utama dalam bekerja, menunjukkan kebenaran syair lagu tersebut. Bahkan sampai mengesampingkan keberadaan nilai-nilai yang diyakini kebenarannnya oleh masyarakat.
Jika Anda mengamati perilaku pegawai dan sering terlibat dalam sebuah kegiatan, mungkin Anda akan ditunjukkan pada kenyataan bahwa uang masih menempati urutan teratas dari motif seorang pegawai dalam bekerja. Pakar teori motivasi seperti Maslow, Herzberg dan Alderfer menyatakan bahwa terdapat tiga motif yang mampu memotivasi pegawai yaitu motif primer, umum dan sekunder. Motif primer timbul karena adanya kebutuhan yang bersifat fisiologis seperti rasa lapar, haus, tidur, menghindari rasa sakit dan kebutuhan lain yang bersifat fisiologis.. Motif umum timbul terdorong oleh kebutuhan psikologis seperti, keingintahuan, manipulasi, aktivitas dan afeksi; sedangkan motif sekunder muncul akibat kebutuhan akan kekuasaan, prestasi dan afiliasi.
Namun, kita tidak bisa memilah-milah motif yang pasti pada diri pegawai, karena dalam waktu yang bersamaan bisa saja mereka mempunyai tiga motif sekaligus, atau antara motif tersebut saling terkait. Ketika Anda menemui rekan kerja Anda yang tiba-tiba rajin, mungkin saja ia mempunyai motif sekunder yaitu kekuasaan karena pada rentang waktu yang tak lama akan ada promosi, sehingga ia melakukan manajemen kesan. Dalam waktu itu, bisa jadi ia mempunyai motif umum yaitu ingin melibatkan diri dengan aktivitas sosial dengan rekan sekerja; atau mempunyai motif primer karena dengan berperilaku rajin ia berharap mendapatkan kompensasi yang lebih.
Bagaimana dengan uang? Ternyata tiga motif diatas bisa dilalui jika seseorang mempunyai uang. Rasa lapar bisa dibeli dengan uang, keingintahuan bisa dibeli dengan uang dan kekuasaan bisa didapat dengan uang. Tingginya keyakinan seseorang bahwa uang akan memenuhi segala kebutuhan manusia, semakin mendudukkan uang sebagai motivator pokok dalam bekerja. Celakanya, keyakinan tersebut akan menimbulkan efek negatif bagi organisasi, yaitu semakin tingginya sikap transaksional, di mana pegawai selalu menghitung tingkat pengorbanan yang telah ia lakukan dengan kompensasi atau keuntungan yang ia peroleh dari organisasi. Motivasi pegawai begitu tinggi jika pekerjaan yang ia tangani akan mendatangkan keuntungan atau harapan akan diperolehnya keuntungan pribadi. Sedangkan kualitas hubungan interpersonal antar pegawai semakin menipis karena setiap aktivitas sosial selalu bertendensi keuntungan pribadi. Maka hubungan sosial yang ada tak lagi menjadi modal bagi organisasi untuk mencapai kinerja yang tinggi.
Bentukan Budaya Organisasi
Sikap dan perilaku pegawai sehari-hari tak bisa lepas dari peran budaya yang ada. Jika budaya organisasi senantiasa mengedepankan nilai-nilai kebenaran yang dipercaya masyarakat sebagai penopang tumbuhnya organisasi, maka sikap dan perilaku pegawai akan selaras dengan budaya tersebut. Sebaliknya, budaya yang memberikan celah bahkan legitimasi kepada pegawai untuk mengambil keuntungan pribadi, maka sikap transaksional akan berkembang menjadi kebiasaan umum dari pegawai. Uang pun akan berubah menjadi motivator utama dan semakin mengikis komitmen organisasional dari pegawai.
Sikap dan perilaku pamrih akan menjadi pemandangan sehari-hari bahkan menjadi hal yang wajar. Mereka tidak lagi tabu membicarakan mendapatkan berapa rupiah dari kegiatan yang ditangani atau berapa besar keuntungan yang bisa dinikmati dari sebuah kegiatan. Tujuan mendasar dari kegiatan tak lagi bisa didengar dari percakapan anggota. Yang ada hanyalah kapan kegaiatan berakhir dan berapa tingkat keuntungan yang bisa dinikmati.
Kondisi tersebut pada akhirnya akan berdampak pada kualitas kinerja pegawai. Nilai-nilai transaksional yang semakin menguat akan mendorong mereka mengesampingkan kualitas kinerja. Padahal kualitas kinerja pegawai akan berdampak pada kualitas kinerja organisasi karena kualitas kinerja organisasi adalah kumpulan dari kualitas kinerja tiap pegawai. Bagi organisasi yang mengedepankan kualitas kinerja, sikap transaksional pada pegawai akan menjadi penghalang utama, namun bagi organisasi yang mengedepankan kuantitas dan memburu target yang bernilai kuantitatif, maka sikap transaksional akan mampu mendorong organisasi mencapai target tersebut. Pemberian bonus yang tinggi pada tim marketing adalah bentuk-bentuk penerapan konsep transaksional dalam organisasi.
Cerminan Perilaku Pemimpin
Sikap dan perilaku pemimpin akan menjadi alasan kuat bagi pegawai untuk bersikap transaksional yang memandang uang sebagai motivator dalam bekerja. Bawahan biasanya akan mengidentifikasi sikap dan perilakunya dengan sikap dan perilaku pemimpin, kecuali bagi mereka yang kuat dalam memegang teguh nilai-nilai pribadi yang berbeda dengan nilai-nilai dari pemimpinnya.
Bagi pegawai yang sangat pendiam sekalipun akan mengidentifikasi dirinya dengan sikap dan perilaku pemimpin. Meskipun ia tidak secara terang-terangan menyatakan meniru sikap dan perilaku pemimpin namun ia akan mencatat setiap peristiwa yang melibatkan pemimpin dan bagaimana pemimpin mnegambil tindakan. Apalagi sikap dan perilaku tersebut berkaitan dengan hal-hal yang negatif. Pemimpin ibarat contoh. Sikap dan perilaku negatif akan cepat diterima bawahan sebagai contoh sikap yang perlu ditiru dibandingkan sikap dan perilaku positif dari pemimpin. Meskipun dalam hati kecil bawahan akan menentang sikap dan perilaku negatif, tapi dorongan dari luar yang dibuktikan dengan kenyataan bahwa sikap dan perilaku tersebut juga dilakukan pemimpin, semakin memberikan pengesahan pada sikap dan perilaku bawahan. Maka bagi bawahan adalah sah dan wajar jika di suatu saat ia melakukan hal yang sama.
Karenanya, menjadi sebuah keharusan jika pemimpin berperan sebagai model bagi bawahannya. Selama ia belum bisa menjadi model untuk tidak menyuburkan sikap transaksional, maka jangan harap bawahan akan mempunyai sikap dan perilaku yang berbeda. Bisa jadi sikap dan perilaku bawahan bisa lebih parah. Bukankah menurut peribahasa “guru kencing berdiri, murid kencing berlari?” Uang akan menjadi tujuan terdepan jika pemimpin masih memandangnya sebagai penyebab utama dalam aktivitas organisasi. Sebaliknya, sikap transaksional dimungkinkan akan terkikis selagi pemimpin mampu menjadi model, membuat kebijakan dan aturan serta mendesain budaya organisasi agar selaras dengan nilai-nilai kebenaran, baik yang bersumber dari norma sosial, hukum ataupun agama. Segalanya akan menjadi mudah ketika sikap dan perilaku dalam berorganisasi selaras dengan nilai-nilai tersebut.