Widayanto
BDK Surabaya
e-mail: [email protected]
“Wani Piro?” adalah pernyataan yang sering kita dengar sebagai bahan gurauan. Dalam Bahasa Indonesia “Berani Berapa?”. Sepintas tidak ada yang aneh dengan kalimat tersebut. Namun jika disalahgunakan untuk sesuatu yang kurang pas, contohnya dipakai untuk meloloskan suatu tender proyek, dengan menawarkan beberapa imbalan, maka itu merupakan salah satu indikasi kurangnya integritas. Integritas yang tinggi terbentuk pada institusi atau lingkungan dengan budaya kerja bagus.
Integritas berarti “mutu, sifat, atau keadaan yg menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan; kejujuran” (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Integritas juga diartikan bertindak konsisten sesuai dengan nilai-nilai dan kebijakan organisasi serta kode etik profesi, walaupun dalam keadaan yang sulit untuk melakukannya. Dengan kata lain, “satunya kata dengan perbuatan”. Mengkomunikasikan maksud, ide dan perasaan secara terbuka, jujur dan langsung sekalipun dalam negosiasi yang sulit dengan pihak lain. Sedangkan menurut 5 nilai budata kerja Kementerian Agama, integritas didefinisikan sebagai keselarasan antara hati, pikiran, perkataan, dan perbuatan yang baik dan benar. Keselarasan dalam hal ini dimaksudkan adanya konsistensi antara apa yang kita katakan dengan apa yang kita perbuat. Integritas terlihat sepele, namun menurut John C. Maxwell dalam bukunya “Mengembangkan Kepemimpinan di Dalam Diri Anda”, integritas adalah faktor yang paling penting dalam budaya kerja.
Masalah yang menjadi bahasan dalam tulisan ini adalah bagaimana memperkuat nilai-nilai integritas dalam budaya kerja di suatu unit kerja? Pada kehidupan sehari-hari, kita sering menemukan pegawai yang memiliki integritas rendah, dengan indikator masih menerima suap serta melakukan pelanggaran terhadap sumpah dan janji pegawai/jabatan. Kurangnya integritas inilah yang juga menyebabkan kurang munculnya budaya kerja yang bagus/ kondusif. Kondisi nyata rendahnya integritas dapat terlihat pada perilaku negatif seperti nilep barang kantor, pulang lebih awal, sampai memanipulasi anggaran dan surat dinas. Dari studi kasus tersebut dapat diambil kesimpulan jika para pegawai tidak memiliki integritas tinggi, maka suatu organisasi atau budaya kerja dari kantor/instansi menjadi kurang bagus/kondusif.
Menurut Maxwell, integritas bukanlah apa yang kita lakukan melainkan lebih banyak siapa diri kita. Siapa diri kita ini bisa terus menerus diperbaiki, baik dengan menetapkan nilai-nilai dan norma-norma yang sesuai bagi diri kita sendiri. Pada endingnya, siapa diri kita akan menentukan apa yang kita lakukan. Ketika kita menganut suatu nilai-nilai integritas misalnya kejujuran maka kita akan memilih untuk tetap jujur pada waktu ujian ketimbang mencoba untuk bertanya kepada teman. Perbuatan jujur ini akan membawa keuntungan bagi diri kita sendiri keuntungan pertama adalah kita merasa puas dengan hasil ujian yang kita kerjakan, dan keuntungan kedua adalah teman-teman yang lain akan percaya kepada kita. Kepercayaan merupakan harga yang sangat mahal dan hal inilah yang membuat seseorang menjadi seorang pegawai berintegritas.
Untuk mewujudkan budaya kerja yang kondusif, penegakan integritas dan nilai etika secara berkelanjutan, kepatuhan kepada aturan perilaku dan kode etik dapat ditetapkan sebagai target kinerja pada setiap unit kerja. Misalnya, dalam penetapan kinerja unit kerja, setiap unit harus menargetkan tidak ada pelanggaran atau terjadi penurunan pelanggaran. Dengan menjadikan aturan kinerja sebagai target, maka unit kerja akan terdorong untuk menerapkan sebaik mungkin agar terhindar dari pelanggaran, yang berarti kinerja tidak tercapai karena kurangnya integritas.
Hal yang sulit dalam mewujutkan integritas adalah ketika terjadi perbedaan nilai, norma ataupun kepentingan. Masalah ini sering terjadi pada seorang pegawai yang menganut nilai kejujuran dan setia kawan. Tentunya kedua nilai ini akan bertentangan ketika melihat ada teman yang mengikuti tender suatu proyek dan pegawai tersebut merasa tergerak untuk membantu dengan alasan kesetiaan, namun takut membantu dengan alasan kejujuran. Pada kasus ini tentunya ia harus bisa memilah kapan menggunakan suatu nilai / norma dan kapan tidak menggunakannya. Kesetiakawanan tentunya tidak dilihat pada saat tender saja, melainkan dalam bersosialisasi sehari-hari dan pada saat penentuan pemenang tender merupakan momentum paling tepat untuk menguji tinggi rendahnya integritas.
Pada kehidupan sehari-hari pun, kita sering menemukan para pemimpin dan politisi yang memiliki integritas rendah, contohnya adalah menjanjikan sesuatu, namun di lapangan yang dikerjakannya berbeda. Kurangnya integritas inilah yang juga menyebabkan penumpasan korupsi di Indonesia berlangsung cukup lama. Kita sering mendengar Bupati/Gubernur mengatakan akan bekerja jujur dan tidak melakukan KKN, namun pada kenyataannya beliau melakukannya juga, maka yang terjadi adalah para bawahannya akan mengikuti jejak pemimpinnya yang KKN tersebut. Hal ini terlihat dari integritas para bawahannya yang menjadi rendah dan melakukan KKN dalam skala yang lebih kecil seperti nilep barang kantor, pulang lebih awal, sampai memanipulasi anggaran dan surat dinas. Dari studi kasus tersebut dapat diambil kesimpulan jika seorang pemimpin tidak memiliki integritas tinggi maka suatu unit organisasi kerja akan gagal mewujudkan budaya kerja bagus.
Penguatan nilai-nilai integritas dalam budaya kerja dapat dilakukan dengan: 1) memahami dan mengenali perilaku sesuai kode etik pegawai yaitu mengikuti kode etik profesi dan lembaga/unit kerja, bertindak jujur dalam menggunakan dan mengelola sumber daya di dalam lingkup unit kerjanya. Setiap pegawai hendaknya selalu meluangkan waktu untuk memastikan bahwa apa yang dilakukan itu tidak melanggar kode etik; 2) melakukan tindakan yang konsisten dengan nilai kebenaran dan keyakinannya, berbicara tentang ketidak-etisan meskipun hal itu akan menyakiti kolega atau teman dekat, jujur dalam berhubungan dengan user; 3) bertindak berdasarkan nilai kebenaran meskipun sulit untuk melakukannya, secara terbuka bersedia mengakui kesalahan jika melakukan kesalahan, berterus terang tentang suatu kenyataan/kebenaran walaupun hal itu dapat merusak hubungan baik; 4) bertindak berdasarkan nilai kebenaran walaupun ada resiko atau biaya yang cukup besar, mengambil tindakan atas perilaku pegawai lain yang tidak etis, meskipun ada resiko yang signifikan untuk diri sendiri dan pekerjaan, bersedia untuk bertanggung jawab bila melakukan praktik kinerja yang tidak etis, menentang pendapat dan tindakan pegawai lain demi menegakkan nilai nilai integritas.
Hadits Abdullah bin Umar ra. Bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “setiap kamu adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang amir yang mengurus keadaan rakyat adalah pemimpin. Ia akan dimintai pertanggungjawaban tentang rakyatnya. Seorang laki-laki adalah pemimpin terhadap keluarganya di rumahnya. Seorang wanita adalah pemimpin atas rumah suaminya. Ia akan diminta pertanggungjawaban tentang hal mereka itu. Seorang hamba adalah pemimpin terhadap harta benda tuannya, ia akan diminta pertanggungjawaban tentang harta tuannya. Ketahuilah, kamu semua adalah pemimpin dan semua akan diminta pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya.
Akhir kata penulis berharap kita semua dapat menjadi pegawai yang memiliki integritas yang tinggi guna membentuk budaya kerja yang bagus/kondusif di unit kerja kita. Jika seorang pegawai bisa menunjukkan pegawai yang memiliki integritas tinggi dalam lingkup unit kerjanya, maka dia akan bisa dijadikan pemimpin dalam lingkupnya bahkan yang lebih besar seperti pemimpin suatu unit kerja. Jika seorang pegawai tidak bisa menunjukkan integritas tinggi, maka orang tersebut sulit untuk bisa dijadikan pemimpin yang mengarahkan kepada budaya kerja yang bagus/kondusif.