(ASN BDK Surabaya)
Organisasi yang memperlakukan pegawainya dengan adil dan menghormati hak-hak mereka cenderung menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan produktif. Namun, sayangnya, beberapa organisasi dapat terjerumus dalam praktik-praktik yang mengeksploitasi pegawai mereka.
Pengelolaan Jam Kerja yang Berlebihan
Salah satu tanda utama eksploitasi pegawai adalah pengelolaan jam kerja yang berlebihan. Organisasi yang memaksa pegawainya untuk bekerja lebih dari batas wajar tanpa pemberian kompensasi yang setara dapat merugikan kesehatan dan keseimbangan kehidupan kerja-kehidupan pribadi pegawai (Schulte et al., 2022). Oleh karena itu, memantau praktik pengelolaan jam kerja dan memastikan kepatuhan terhadap standar industri serta peraturan perburuhan menjadi sangat penting. Jika organisasi memaksa pegawainya untuk bekerja melebihi batas waktu yang wajar, ini dapat menyebabkan kelelahan, stres, dan penurunan kualitas hidup pegawai.
Diskriminasi dalam Kompensasi
Diskriminasi dalam hal kompensasi, baik berdasarkan jenis kelamin, etnisitas, atau faktor lainnya, juga merupakan tanda potensial eksploitasi pegawai. Penelitian oleh Brown dan Smith (2023) menunjukkan bahwa praktik-praktik kompensasi yang tidak adil dapat merugikan moral pegawai dan mengurangi motivasi mereka untuk berkinerja tinggi. Transparansi dalam kebijakan kompensasi dan pencegahan diskriminasi sangat penting untuk menjaga integritas organisasi. Pegawai yang diberi tanggung jawab dan beban kerja yang besar seharusnya menerima kompensasi yang sesuai. Jika perusahaan tidak memberikan kompensasi yang adil dan sebanding dengan kontribusi pegawai, ini dapat dianggap sebagai bentuk eksploitasi. Studi oleh International Labour Organization (ILO) menunjukkan bahwa kesenjangan gaji yang besar antara eksekutif dan pekerja biasa dapat menyebabkan ketidakpuasan dan ketidakstabilan di tempat kerja.
Kurangnya Dukungan Kesejahteraan Pegawai
Organisasi yang mengeksploitasi pegawai seringkali tidak memberikan dukungan untuk kesejahteraan mereka. Perhitungan keuntungan dan kerugian, benar-benar diterapkan tanpa memandang keberadaan pegawai dengan segala kebutuhan yang ada padanya. Karenanya, organisasi yang mengekploitasi pegawai biasanya ditandai dengan kurangnya layanan kesehatan mental, kurangnya program keseimbangan kerja dan kehidupan, serta minimnya sumber daya untuk pengembangan profesional (Johnson et al., 2022). Penelitian menunjukkan bahwa organisasi yang memprioritaskan kesejahteraan pegawai memiliki tingkat retensi yang lebih tinggi dan produktivitas yang lebih baik. Pegawai akan merasa nyaman berada dalam organisasi sehingga kepuasan kerja meningkat yang diiringi dengan peningkatan kinerja pegawai.
Praktik Manajemen yang Otoriter
Pengelolaan organisasi secara otoriter, sebanarnya tidak lagi relevan dengan kondisi saat ini. Dalam era saat ini yang ditandai dengan dengan sikap demokratis dan humanis dalam pengelolaan sumber daya manusia, rasanya sikap otoriter tidak laku lagi. Namun tidak menutup kemungkinan pengelolaan secara otoriter masih ada. Ha tersebut biasa terjadi dalam organisasi dengan tingkat ketergantungan terhadap pemimpin yang terlalu tinggi, tidak adanya delegasi wewenang dan tingkat pendidikan dan pengetahuan bawahan yang relatif rendah. Untuk saat ini praktik manajemen yang otoriter dan kurangnya partisipasi pegawai dalam pengambilan keputusan adalah indikator eksploitasi.
Riset terbaru oleh Jackson dan Turner (2023) menyoroti bahwa organisasi yang menerapkan kepemimpinan partisipatif dan memberikan kebebasan dalam pengambilan keputusan cenderung menciptakan lingkungan di mana pegawai merasa dihargai dan terlibat. Sedangkan sikap otoriter mengindikasikan bahwa organisasi tidak menghargai keberadaan pegawai sehingga tidak melibatkannya dalam setiap proses pengambilan keputusan. Antara pihak manajmeen dengan pegawai seakan terdapat sekat yang menghalangi di mana pegawai akan menjadi obyek dari manajemen tanpa adanya kesempatan pegawai untuk memberikan pendapat dan pembelaannya.
Ketidakjelasan Aturan dan Kebijakan Pegawai
Transparansi organisasi akan memberikan kejelasan pegawai tentang hak dan kewajibannya. Organisasi dengan pengelolaan yang baik biasanya akan menetapkan aturan yang jelas sehingga tidak menimbulkan keraguan bahkan ketidakjelasan dalam menjalankan aktivitasnya. Sebaliknya organisasi dengan aturan yang tidak jelas dapat memberikan dampak kesewenang-wenangan pihak manajemen terhadap para pegawainya. Apalagi organisasi tersebut berupa perusahaan keluarga yang belum go public di mana kontrol terhadap perusahaan nyaris tidak ada. Maka pegawai akan dieksploitasi dengan mudah. Tanpa pedoman yang tepat, manajemen memiliki keleluasaan untuk mengambil keputusan yang merugikan pegawai. Bahkan sangat dimungkinkan pihak manajemen akan memberikan hukuman dengan tidak adil karena tidak adanya aturan yang jelas. Oleh karena itu, transparansi dalam aturan dan kebijakan pegawai perlu ditekankan agar organisasi tidak mudah untuk mengeksploitasi pegawainya.
Daftar Pustaka
Schulte, P. A., Wagner, G. R., Ostry, A., Blanciforti, L. A., Cutlip, R. G., Krajnak, K. M., … & Miller, D. B. (2022). Work, obesity, and occupational safety and health. American Journal of Public Health, 112(8), 1530-1540.
Brown, M., & Smith, T. (2023). Understanding pay transparency: Antecedents and consequences of pay transparency. Human Resource Management Journal, 33(1), 78-94.
Johnson, R. E., Rosen, C. C., & Djurdjevic, E. (2022). Assessing the impact of a high‐involvement work system on employee well‐being, work attitudes, and turnover: A field study. Personnel Psychology, 75(1), 211-236.
Jackson, S. E., & Turner, R. (2023). The dark side of organizational behavior. Routledge.