Oleh: Moh. Syaifudin
Hari Raya Idul Fitri adalah momentum yang sangat khusus bagi umat Islam. Pada hari itu, mereka bagai terlahir kembali sebagai bayi; suci, bersih, tanpa dosa. Betapa tidak, setelah ditempa selama sebulan penuh di bulan Ramadhan, bukan main-main janji yang Allah berikan bagi mereka yang menjalankan ibadah Ramadhan hanya semata-mata mengharapkan ridlo-Nya. Ampunan dosa dari Ramadhan tahun ini sampai dengan Ramadhan tahun lalu. Bahkan, pembebasan dari siksa neraka. Mereka kembali kepada fitrah. Allah Mahabesar. Segala puji hanyalah milik-Nya semata.
Kita patut berbahagia karena diberikan fasilitas oleh Allah berupa Ramadhan. Umat masa kini memiliki masa hidup yang lebih pendek daripada umat-umat terdahulu. Rata-rata bilangan usia mereka adalah 60 s.d. 70 tahun. Untunglah di bulan Ramadhan Allah melipatgandakan balasan bagi umat-Nya yang benar-benar ikhlas beribadah kepada-Nya sehingga nilai ibadahnya, jika itu menjadi ukuran, bisa setara dengan kaum terdahulu yang hidup sampai ribuan tahun. Terlebih pada malam Lailatul Qodar. Malam yang nilainya lebih baik daripada seribu bulan. Jadi, jika pada malam itu umat Muhammad sholat satu rakaat, maka mereka diganjar seperti sholat satu rakaat selama kurang lebih 83 tahun! Pahala dilipatgandakan, diobral sebesar-besarnya. Pada intinya, selama Ramadhan, Allah menciptakan sebuah ekosistem yang sangat mendukung bagi ketaatan. Sebaliknya, menciptakan iklim yang tidak menguntungkan bagi pelanggaran. Betapa tidak, pintu surga dibuka-Nya lebar-lebar dan setan-setan dibelenggu.
Namun, kita juga patut bersedih saat Ramadhan berlalu. Fasilitas itu tidak ada lagi. Memasuki ekosistem di luar Ramadhan adalah ujian sesungguhnya bagi umat Islam. Ketika dihadapkan pada ekosistem yang tidak kondusif bagi ketaatan, terbukanya peluang pelanggaran, terbukanya peluang kecurangan, dan terbukanya peluang berbuat dosa, mampukah mereka mempertahankan nilai-nilai ketaatan, kejujuran dan keikhlasan? Mampukah mereka menjaga lisan untuk tidak berkata yang sia-sia, yang hanya menyakitkan hati sesamanya? Mampukah mereka tetap bersikap lurus dan jujur di tengah-tengah iklim di mana kejujuran menjadi sesuatu yang ditakuti? Mampukah mereka menjaga ikhsan-nya, merasakan bahwa Allah selalu melihat mereka? Mampukah mereka menjaga fitrah? Karena sungguh, jika mereka mampu menjaga fitrah, merekalah yang layak berhariraya.
Mereka layak berhariraya. Bukan hanya pada 1 Syawal, tetapi berhariraya setiap hari. Karena hakikat hari raya Idul Fitri adalah hari tanpa dosa, baik dosa kepada Allah maupun dosa kepada sesama makhluk. Ketika dalam satu hari kita tidak berbuat dosa dalam bentuk apapun dan kepada siapapun, maka hari itulah kita layak berhariraya. Selamat Idul Fitri. Selamat datang kembali dalam fitrah. Semoga fitrah ini tetap terjaga hingga saat perjumpaan dengan-Nya, tuhan alam semesta. Aamiin.