BDKSurabaya – Lukman Hakim Saifuddin, Menteri Agama RI periode 2014-2019 hadir langsung di BDK Surabaya sebagai salah satu narasumber Pelatihan Penggerak Penguatan Moderasi Beragama (PPMB).
Pada kesempatan ini, LHS, sapaan akrabnya, mengupas habis mengenai konsep moderasi beragama Kementerian Agama.
Sebagai pencetus program moderasi beragama, ia meluruskan kesalahpahaman yang sering terjadi di masyarakat. “Bahwa moderasi beragama bukanlah upaya mengutak-atik agama. Kita sebut moderasi beragama, bukan moderasi agama” tegasnya.
Ia mengungkapkan bahwa bukan agama yang dimoderatkan, melainkan cara beragamanya.
“Moderasi beragama itu cara pandang, sikap beragama kita. Agama bisa dijalankan berbeda tergantung perspektif penafsirnya. Interpretasi agama bisa beragam tergantung wawasan penganutnya, tergantung norma dan nilai yang dianut, berdasarkan cara kita dibesarkan” ujarnya pada Jumat, (16/6/2023).
Di hadapan 105 peserta pelatihan, LHS menganalogikan agama seperti sebuah cangkir.
“Ketika diturunkan dari langit ke bumi, ajaran agama ibarat sebuah cangkir. Cangkir ini satu, tapi bisa diinterpretasikan berbeda oleh setiap orang. Yang duduk di depan saya akan bilang gagang cangkirnya ada di depan, tapi berbeda oleh yang duduk di samping kanan dan kiri” ujarnya.
“Agama pun dapat diinterpretasikan berbeda sehingga lahir tafsir keagamaan yang beragam” ia melanjutkan.
Pria kelahiran Jakarta ini mengungkapkan bahwa moderasi beragama diperlukan untuk menyikapi fenomena-fenomena ekstrim dan melampaui batas yang sering terjadi akhir-akhir ini. “Banyak pihak yang memahami agama secara tekstual saja sehingga pahamnya berlebihan. Padahal, setiap ajaran agama yang membumi selalu ada konteksnya. Agama tidak pernah turun di ruang hampa, agama diturunkan Tuhan untuk merespon masalah yang ada di masyarakat” jelasnya.
“Teks-teks keagamaan, Firman Tuhan, selain menggunakan bahasa kiasan yang menyebabkan multitafsir, semuanya turun dengan latar belakang. Sehingga interpretasinya harus melihat kondisi sosial dan antropologisnya” terang LHS.
“Semua umat beragama berpotensi tergelincir dan terperosok dalam dua kemungkinan kutub ekstrim dalam menyikapi teks-teks keagamaan. Moderasi beragama tidak mengajak kita berada di antara hal yang benar dan salah, tetapi untuk berada di tengah, di antara kutub yang ekstrim dengan menjunjung tinggi nilai adil dan berimbang” tambah pria yang sempat mondok di Pondok Modern Darussalam Gontor ini.
Ia menegaskan bahwa moderasi beragama bukanlah hal baru. “Itu ajaran leluhur kita. Intinya jangan berlebihan, janganlah melampaui batas. Dari dulu ya seperti itu, hanya kemasannya yang abru mengikuti zaman” pungkas Lukman Hakim. (WT)